Etiquetas

Penguasa Malam yang Mendendam
7:59 PM | Author: Mr.Xu
Suatu hari di katulistiwa, sang gelap baru saja lari terbirit-birit, dia mulai melihat ada sesuatu yang mengintip dari arah timur sana, sesuatu yang tatapan matanya tidak mungkin mampu dia balas. Sesuatu yang bila dia mulai hadir, mampu menggerakkan seluruh makhluk bumi untuk berani melawannya. Sesuatu itu adalah sang matahari, makhluk yang mampu membangkitkan alam untuk dapat bergerak lebih cepat.

Dalam lubuk hatinya, sebagai penguasa malam, sebenarnya ia merasa terhina, diusir secara serta-merta tanpa mampu untuk menolaknya. Ia pernah mencoba melawannya dengan mengerahkan seluruh pasukan awan hitam bahkan dengan bantuan asap tebal hasil pembakaran hutan-hutan tropis, semuanya sia-sia. Pesona sinar matahari benar-benar tidak mampu ia redam, bahkan matahari justru mampu sedikit demi sedikit mengikis habis keberadaannya. Ia baru mampu hadir kembali tatkala matahari mulai lelah dan kembali ke peraduannya.

Hari ini, telah enam belas kali dalam bulan ini, matahari selalu mengusik keberadaannya. Seperti biasanya, matahari hadir pagi-pagi buta, ajudannya sang lembayung sutra, sudah lebih dulu memberi aba-aba. Di susul saling bersautannya corong-corong pengeras suara di mushola, untuk menguji kesetiaan manusia. Di berbagai sudut desa si ayam pejantan memamerkan suara dan kegagahannya, menebarkan pesona kepada para betina. Alam mulai menggeliat, manusia ada yang baru saja membuka selimutnya, menghirup kopi hangat yang sudah disiapkan disamping pembaringan, ironisnya sebagian yang lain dengan terpaksa harus sudah bersimbah keringat menurunkan beban berat dari atas truk yang bermuatan sarat di pasar-pasar becek yang dipenuhi lumpur pekat sisa hujan semalam. Semuanya mulai bergerak, berserabutan merusak keheningan malam. Sang gelap sekali lagi harus merelakan tahtanya untuk digantikan oleh saingan beratnya, sang matahari, penguasa siang.

Sang penguasa malam hanya bisa memandang dari kejauhan, sisa-sisa pasukannya tercerai- berai di kolong-kolong jembatan, dibawah pohon rindang, di dalam gua-gua persembunyian, di lorong-lorong saluran bawah tanah, dan bahkan ada yang bersembunyi di dalam lemari pakaian dan laci meja makan. Dengan tatapan mata yang mulai berlinang, rasa dendamnya mulai memuncak hingga ke ubun-ubun kepalanya. “Akan ku balas engkau sang penguasa siang”, ia berteriak keras-keras di tengah-tengah kesendirian, meluapkan segala kekesalan sambil mengangkat tangannya yang terkepal. Lalu ia mulai diam kelelahan, terkulai lemas. “Aku harus membalas !” berkali-kali kalimat itu terlontar, keningnya mulai berkerut, ia memikirkan sebuah rencana maut. Terpaksa kali ini, ia harus meminta bantuan kepada sang permaisuri malam. Ia yakin, kecantikan Sang Rembulan akan mampu meluluh-lantakkan kesombongan sang penguasa siang.

Sang penguasa malam dan permaisuri rembulan berjalan mengendap-endap, sambil terus melihat-lihat kekiri dan kekanan, dia mengintip dari balik dinding langit, membuat perhitungan yang masak untuk memilih saat yang tepat. Akhirnya kesempatan itu datang, sang gelap kemudian memberi aba-aba kepada permaisurinya, “sekarang sayang !”. Dengan serta-merta sang rembulan melompat, dipeluknya bumi erat-erat. Punggungnya yang membelakangi matahari mulai terasa panas karena sinar sang penguasa siang, semuanya tidak dia perdulikan. Di bawah sana, terjadi keributan, sebagian manusia berteriak-teriak “Gerhana!, gerhana!,gerhana!” . Tidak beberapa lama kemudian, sang rembulan mulai merasakan sengatan sinar matahari yang menusuk-nusuk punggungnya sudah tidak mampu lagi ia tahan, “Suamiku,.. aku sudah tidak kuat lagi…”. “OK sayang!, cukup! sekarang kita mundur…”. Maka sang rembulanpun melepaskan pelukannya, ia melompat dan berlari ke arah suaminya serta menghilang di sela-sela dinding langit meninggalkan hingar-bingarnya bumi yang sekarang sudah mulai kembali bisa bernafas.

Gerhana

“Maafkan aku permaisuriku, aku telah memanfaatkanmu untuk melampiaskan rasa dendamku” sang penguasa malam berbisik di telinga sang rembulan, lalu dengan perasaan yang mulai lega, ia mencium kening sang permaisuri dan mengucapkan terima kasih.

“Tidak apa-apa sayang, walaupun tubuhku akan meleleh sekalipun aku tidak akan menyesal, asalkan aku masih tetap dapat melihat engkau tersenyum sayang”, benar-benar sebuah pengorbanan yang tulus, yang ditunjukkan sang Rembulan untuk selalu membahagiakan suaminya, sang raja penguasa malam.

Rasa dendam memang seringkali menang, dia mengalahkan akal sehat, mengorbankan segalanya, bahkan miliknya yang paling berharga sekalipun tidak lagi diperdulikan. Rasa dendam adalah anak yang dilahirkan dari rahim kedengkian. Rasa dengki yang lahir dari ketidak mampuan dan mental pecundang. Jika saja sang malam mau berbagi, dia tidak perlu mengorbankan sang permaisuri yang paling ia sayangi.

Sang rembulanpun ikut berperan memupuk kedengkian suaminya, hanya karena rasa cinta yang membabi buta. Kenapa sang dewi malam tidak mau mengingatkan, agar kemarahan sang raja malam dapat diredam. Bukankah kecantikan yang dimilikinya mampu ia pergunakan untuk menghibur lara sekaligus amarah.

(Renungan anak-anak alam)

This entry was posted on 7:59 PM and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 comments:

My Blog List

  • Laughing before it’s illegal - [image: laugh]Don’t be afraid to laugh. Laugh not make you look like a fool or make your authority will go down if you have appropriate reasons. But you ...
    15 years ago
  • TRiMaKaSiH CiNTa - *Dan bila aku berdiri* *Tegar sampai hari ini* *Bukan karena kuat dan hebatku* *Semua karena cinta* *Semua karena cinta* *Tak mampu diriku* *dapat berdiri t...
    15 years ago