Etiquetas

Adik Kecilku yang Hilang
5:06 PM | Author: Mr.Xu

"Tom, ada surat tuh.. aku taruh di meja kamarmu", teriak Andi teman kosku dari ruang depan. "Oh iya nDi .., thanks", aku yang saat itu sedang ada di dapur menjawab sekenaku. Bergegas aku menuju kamar sambil membawa segelas kopi panas yang baru saja kubuat. Entahlah rasanya aku mengantuk sekali sore itu. Konon katanya segelas kopi bisa membuat mata kita segar kembali. Aku lihat di atas mejaku tergeletak secarik surat dengan sampul warna ungu, gambarnya penuh dengan bunga-bunga, khas gaya sampul surat seorang gadis belia. Aku baca nama yang tertulis di balik amplop itu, nama seorang gadis manis adik kelasku.

Dia sebaya dengan adikku. Semasa di SMA dulu aku biasa memanggilnya Indi. Sudah hampir dua tahun terakhir setelah aku lulus SMA dan melanjutkan kuliah di kota Bandung, aku dan Indi saling berbalas surat, saling berbagi kabar dan menceritakan kegiatan kami masing-masing. Sebenarnya aku tidak terbiasa mengungkapkan kata-kata dalam bentuk tulisan, hanya sedikit salam pembuka dan selebihnya berupa coretan-coretan gambar karikatur biasa. Ternyata Indi menyukai sekali gaya suratku itu, tidak ada rangkaian kata romantis dan merayu yang biasanya ada pada sebuah surat dari seorang pemuda kepada seorang gadis. Yang ada hanyalah kata-kata gurauan dan sedikit saling mengejek yang bertujuan untuk saling menggoda. Semuanya lebih banyak aku tuangkan dalam bentuk sketsa gambar.

Aku mengenal Indi pada saat dia diantar kakaknya mencari tempat kos. Saat itu aku sedang duduk-duduk di teras rumah tempat kosku sambil membaca buku.

"Permisi mas.., mau numpang tanya, apakah disini masih menerima penghuni kos baru ?" tanya seorang wanita muda kepadaku saat itu. Di sebelahnya ada seorang gadis manis masih berpakaian putih abu-abu, dipundaknya bergelayut sebuah tas warna hitam yang dipenuhi dengan bros warna-warni beraneka macam.

"Ada sih mbak , tapi sebentar ,saya panggilkan saja ibu , biar nanti mbak Tanya langsung saja sama ibu",

"Silahkan duduk dulu mbak !"

Aku bergegas masuk ke rumah dan menyampaikan kepada ibu kos bahwa di teras ada tamu yang akan mencari tempat kos. Aku tidak kembali lagi ke teras, tetapi berjalan menuju kamarku. Rumah kos itu memang sebuah tempat kos campuran, dimana penghuninya ada yang pria dan ada wanita, semuanya adalah murid-murid SMA. Letaknya yang strategis dekat dengan sekolah menjadikan tempat kosku itu banyak dituju oleh murid baru. Keesokan harinya aku lihat gadis manis itu memasuki kamar di seberang kamarku.

"Hai,.." aku menyapanya, "hai.."

"Kelas 1 apa..?" tanyaku.."kelas 1A mas..", "mas sendiri..?" dia balik bertanya..

"Tiga Fisika Dua"…"Kenalkan, Tomy…", "Indriani, pangil saja Indi".

Dua tahun kemudian…

Sekarang aku sudah memasuki akhir semester lima, seminggu lagi aku liburan akhir semester. Dalam suratnya, Indi menanyakan apakah aku akan mengunjunginya saat liburan nanti . Dia memberikan alamat kosnya yang baru, dia sudah tidak lagi tinggal di tempat kosku yang dulu. Setidaknya sekali dalam setiap liburan semesterku aku selalu mengunjungi Indi di tempat kosnya, itupun jika kebetulan liburanku tidak berbarengan dengan liburan murid-murid SMA. Sebab jika liburan sekolah, Indi selalu pulang ke rumah orang tuanya . Sejauh ini aku belum pernah mengunjunginya di Cilacap, tempat rumah orang tuanya.

Setiap bertemu dengannya, ada saja pembicaraan kocak yang selalu terlontar antara aku dan Indi. Pertemuanku yang terakhir dengan Indi adalah pada saat liburan dua semester yang lalu. Liburan semester kemarin aku tidak bisa bertemu dengannya karena dia pulang ke Cilacap. Saat aku terakhir menemuinya, aku melihat Indi sudah mulai tumbuh menjadi gadis yang semakin manis, tubuhnya berpostur bagus dan proporsional. Kalau saja dia bisa bersikap lebih anggun dan tidak ceplas-ceplos, mungkin dia sudah terpilih menjadi gadis model sampul majalah remaja.

Sejak lulus SMA, setiapkali aku bermain ke tempat kosnya, semakin hari semakin aku merasa berdebar-debar jika dekat dengannya. Akan tetapi gayanya yang kocak dan cuek selalu membuatku kembali ragu manakala aku ingin mengungkapkan perasaan cintaku kepadanya , aku takut jika hubunganku selama dua tahun terkahir ini dengannya hanya dianggapnya sebagai hubungan kakak-adik belaka. Apalagi dalam setiap pembicaraan yang terlontar hanyalah gurauan dan canda yang tiada henti-hentinya. Liburan kali ini pun mungkin aku tidak bisa menemuinya, karena aku ada tugas kerja praktek yang aku ambil untuk menambah nilaiku yang pas-pasan semester ini.

Satu Tahun Kemudian…

Saat ini aku sudah tidak pernah lagi menerima surat dari Indi. Enam bulan yang lalu, karena kesibukan tugas-tugas kuliahku, empat kali surat yang dikirimkan Indi tidak sempat aku balas. Sampai akhirnyanya aku mendengar kabar bahwa Indi sekarang kuliah di STAN Jakarta, karena mengikuti program PMDK . Aku sendiri sekarang sudah berpindah tempat kos dan tidak sempat memberi tahu Indi dimana tempat kosku sekarang. Aku juga tidak tahu dimana Indi tinggal di Jakarta, karena sejak aku terakhir menerima suratnya, aku tidak pernah lagi melakukan kontak dengannya. Entahlah, sudah hampir seminggu ini, setiap akan tidur aku selalu kembali teringat dengan sosok Indi, sosok gadis manis adik kelasku yang pernah mengisi mimpi-mimpiku. Indi,..di manakah sekarang engkau berada, adik manisku..?

Berbagi Ilmu dengan Sesama
7:43 AM | Author: Mr.Xu

Suatu hari aku melakukan "Browsing" di internet. Aku ketikkan kata kunci "analogi" pada sebuah pencari "google" dan kutekan tombol "search" untuk memulai pencarian. Akhir-akhir ini aku memang sedang tergila-gila sekali dengan istilah "Analogi", banyak situs sudah aku kunjungi untuk sekedar memahami apa pengertian sesungguhnya dari istilah tersebut. Bahkan aku sempat mencoba menulis dalam personal blogku yang aku beri judul " Analogi, sebuah konsep berfikir ", aku mencoba menuliskan pengertian analogi menurut pemahamanku dengan difinisi rekaanku sendiri. Oleh sebab itu saya mencoba membandingkan difinisi rekaanku itu dengan beberapa difinisi yang dituliskan oleh beberapa penulis untuk dapat lebih dalam lagi memahami pengertian analogi secara lebih lengkap.


Ada banyak situs muncul dari hasil pencarianku itu. Aku telusuri satu persatu, tiba-tiba ada sebuah artikel yang menarik perhatianku, sebab rasa-rasanya tema dalam judul artikel itu pernah aku diskusikan dengan seorang rekan kerjaku. "Mengajar, cara terbaik untuk belajar", begituluh judul artikel tersebut, rasanya aku dan rekanku pernah membahas sebuah analogi tentang teori " Hukum Bejana Berhubungan ", yang secara tidak langsung ada kesamaan dengan isi tulisan tersebut.


Teori "Bejana Berhubungan" adalah salah satu teori dalam "Fisika Dasar", yang seingatku dulu pernah aku dapatkan semasa SMA. Aku mencoba menganalogikan bahwa alam adalah sebuah tangki yang sangat besar, dimana banyak sekali misteri ilmu Tuhan tersembunyi di dalamnya. Jika kita mau mendekat kepada alam, maka Tuhan akan membuka misteri alam dan menyalurkan sebagian ilmunya kepada kita melalui sebuah pipa, langsung kedalam dasar tangki ilmu kita (perhatikan ilustrasi gambar di samping).


Dalam keadaan yang setimbang, dimana kita menyimpan ilmu kita hanya untuk diri kita sendiri, maka tidak terjadi aliran ilmu baik di pipa masuk maupun di pipa keluar pada dasar tangki ilmu kita.


Jika kita mau berbagi ilmu kita dengan orang lain, berati pada pipa keluar tangki kita (Me to Others) akan terjadi sebuah aliran. Aliran pada pipa keluaran tangki kita akan menyebabkan tekanan pada tangki ilmu kita sedikit-demi sedikit berkurang. Jika tekanan pada diri kita terasa berkurang, kita akan merasa sebagian beban fikiran kita seakan menguap dan fikiran kita terasa menjadi lebih ringan. Kita akan merasakan bahwa dengan mengajarkan ilmu kita kepada orang lain akan terasa kebahagian tersendiri, ada kesenangan tertentu yang tidak seluruhnya dapat kita gambarkan dengan kata-kata.


Tangki ilmu kita yang mulai berkurang tekanannya, akan memicu aliran pada pipa masukan tangki. Secara keseimbangan alam, karena tekanan pada tangki (Me) menjadi lebih rendah dibanding tangki (Environment), maka secara alami pula, alam akan mengalirkan Ilmu Baru ke dalam tangki ilmu kita. Misteri ilmu alam sedikit-demi sedikit mulai membuka tabirnya. Pengetahuan baru akan terus mengalir hingga batas kemampuan kapasitas tangki ilmu kita dan akan terbentuklah keseimbangan baru. Begitulah selanjutnya, semakin banyak ilmu yang kita bagikan kepada orang lain, akan semakin lebih banyak pengetahuan baru yang alam berikan kepada kita .


Sejalan dengan analogi di atas, maka aku sependapat dengan tema di atas, yang dituliskan oleh Teddi Prasetya Yuliawan, seorang praktisi NLP (Neuro Language Programing). Mengajar memang salah satu metoda belajar yang paling efektif. Menurut beliau, pada saat kita mengajarkan ilmu kita, maka kita akan berada pada keadaan disosiasi atau meta-position , dimana pada saat itu fikiran kita benar-benar dalam keadaan terbuka dan siap untuk menerima ilmu dengan mudah.


Yang lebih manarik adalah ulasan dari Iqbal Basri yang menanggapi tulisan Teddi di atas. Menurut Iqbal yang mengutip sebuah buku berjudul "How the Brain Learn " (David Sousa), Average Retention Rate setelah 24 jam belajar adalah Lecture(5 %), Reading (10 %), Presentation with audiovisual (20%),Demonstration (30%), Discussion group (50%), Practice by doing (75%),and Teaching others (90%). Jadi mengajar orang lain mempunyai tingkat retensi yang paling tinggi sehingga mengajar adalah merupakan cara yang paling efektif untuk belajar.


Maka jangan heran, apabila guru atau dosan kita semakin menjadi lebih pandai karena akan selalu mendapatkan satu pengetahuan yang baru. Marilah kita saling berbagi maka insya Allah ilmu kita akan semakin bertambah !

Ada Udang di Balik Batu
7:18 AM | Author: Mr.Xu

Pribahasa ini sering kali dikonotasikan negatif, ungkapan dimana sebuah perbuatan dianggap mempunyai maksud terselubung yang merugikan. Opini kita telah membentuk pemahaman atas kalimat ini lebih mengarah pada suatu pemberian yang dilakukan tanpa keikhlasan . Padahal sebenarnya pribahasa itu bisa saja diartikan lebih luas, bahwa setiap perbuatan yang dilakukan pastilah mempunyai tujuan.

Apapun yang kita miliki saat ini, atau bagaimanapun keadaan kita saat ini, semua adalah pemberian Tuhan. Setiap keputusan Tuhan pastilah memiliki maksud-maksud dan tujuan. Pastilah ada udang di balik batu. Tuhan memberi kebahagiaan maupun kesusahan bukanlah tanpa alasan. Apakah kita akan mencurigai Tuhan atas semua pemberianNya ?

Udang yang disembunyikan Tuhan dari kita adalah sebuah hikmah , batu yang menutupinya adalah sebuah "Hijab" (sekat penghalang). Tebal-tipisnya hijab, menunjukkan tingkat kedekatan kita kepadaNYa. Semakin kita mendekat, kita akan semakin mampu melihat apa yang disembunyikan Tuhan di balik batu itu. Meskipun secara kasat mata, sering kali kita tidak mampu memahami hikmah pemberian Tuhan, tetapi sebenarnya ruh kita, jiwa kita sudah mengetahuinya terlebih dulu. Karena antara ruh atau jiwa kita dengan Tuhan, sebenarnya tidak ada sekat penghalang. Sayangnya kita seolah-olah tuli atau mungkin sebenarnya tidak perduli, bahkan terhadap jiwa kita sendiri.

Jika kita menghadapi masalah, maka luangkanlah waktu untuk dapat berbicara dengan ruh kita. Karena ruh kita pasti telah lebih dahulu diberi petunjuk oleh Tuhan untuk melihat sebuah hikmah dibalik setiap masalah. Memang tidak mudah, kita harus membersihkan fikiran kita, dan melapangkan hati kita, serta menjernihkan pandangan kita . Kita harus merenung, dan mau berbincang-bincang dengan hati kita, serta menyatukan diri kita dengan irama alam. Rasakan unsur-unsur alam merasuk kedalam jiwa kita, membuka semua misterinya kesetiap pembuluh darah. Jika kita memahaminya, maka hikmah Tuhan adalah yang terbaik bagi diri kita, meskipun nampaknya tidak seperti yang kita harapkan sebelumnya.

Marilah kita renungkan beberapa ungkapan yang pernah saya baca dari sebuah blog bertajuk "Renungan Qolbu" ,

  • Saat bertemu teman yang dapat dipercaya, rukunlah bersamanya. Karena seumur hidup manusia, teman sejati tak mudah ditemukan.
  • Saat bertemu penolongmu, ingat untuk bersyukur padanya.Karena ialah yang mengubah hidupmu.
  • Saat bertemu orang yang pernah kau cintai, ingatlah dengan tersenyum untuk berterima-kasih . Karena ia lah orang yang mampu membuatmu lebih mengerti tentang cinta kasih.
  • Saat bertemu orang yang pernah engkau benci, sapalah dengan tersenyum. Karena dialah yang membuatmu semakin lebih tangguh dan kuat.
  • Saat bertemu orang yang pernah mengkhianatimu, baik-baiklah berbincang dengannya. Karena jika bukan karena dia, hari ini engkau tak memahami makna dunia ini.
  • Saat bertemu orang yang pernah diam-diam kau cintai, berkatilah dia. Karena saat kau mencintainya, bukankah berharap ia bahagia ?
  • Saat bertemu orang yang tergesa-gesa meninggalkanmu, berterima-kasihlah bahwa ia pernah ada dalam hidupmu. Karena ia adalah bagian dari masa lalumu .
  • Saat bertemu orang yang pernah salah-paham kepadamu, gunakan saat tersebut untuk menjelaskanya. Karena engkau mungkin hanya punya satu kesempatan itu saja untuk menjelaskannya.
  • Saat bertemu orang yang saat ini menemanimu seumur hidup, berterima-kasihlah sepenuhnya bahwa ia mencintaimu. Karena bersama dialah saat ini engkau mendapatkan kebahagiaan dan cinta sejati.. Dan selalu bersyukur .....atas apa yang kau rasakan....! Sudah kah kita?....

Bersyukurlah apapun yang Tuhan berikan kepadamu. Karena setiap helaan nafas kita adalah karuniaNya. Setiap kebahagiaan atau pun kesusahan semuanya adalah sebuah ujian. Tuhan menguji kita dengan kebahagiaan untuk megetahui apakah kita mampu bersyukur dan selalu mengingatNya atau kita akan lupa dan semakin menjauhiNya. Tuhan menguji kita dengan kesusahan untuk mengetahui apakah kita termasuk orang yang bersabar dan selalu memohon pertolonganNya atau justru kita menyalahkan Tuhan dan semakin mengingkariNya.

Bis antar kota itu terus saja melaju dengan tenang , dengan penuh kepastian dia berjalan melintasi jalur Pantura melewati kota demi kota seakan tiada hambatan. Kontras sekali dengan isi kepalaku yang masih penuh dengan gejolak dan perasaan hati yang dipenuhi dengan dilema yang masih mendera tanpa kepastian. Sepanjang perjalanan Semarang – Bandung ,yang biasanya ditempuh dalam waktu 10 jam, kini terasa lama seperti perjalanan yang menempuh waktu hingga berbulan-bulan. Udara dalam Bis antar kota yang dingin karena AC, serasa aku bayangkan berada dalam sebuah teater sinema. Di hadapanku seakan-akan terpampang sebuah layar lebar yang menampilkan penggalan-penggalan kisah antara aku dan Bunga. Kisah kehidupan yang diawali dari perkenalan dalam sebuah Bis antar kota, begitu jelas detil bayangan-bayangan itu bermain-main di kepalaku. Sesekali cerita beralih ke sosok lain yang begitu sangat misterius, yaitu sosok sang Dewi Lestari yang akhir-akhir ini selalu mengisi langit-langit kamar tidurku.

Aku menatap kosong ke arah sisi jendela, tetapi seakan tidak mampu menembus kaca. Yang tampil dihadapanku bukan lagi kehidupan nyata yang terjadi di balik kaca jendela itu, tetapi bayangan sosok Bunga yang begitu sempurna dan sosok Dewi Lestari yang sangat misterius. Mereka berdua silih berganti bermain-main dalam ruang imajinasi fikiranku. Sampai saat-saat terakhir aku menginjakkan kaki, menaiki bis antar kota yang sedang aku tumpangi ini, aku masih belum mampu mengambil sebuah keputusan yang pasti.

Aku bukanlah tipe lelaki yang mampu berlabuh dalam dua hati, dengan tenang dan tanpa merasa bersalah, maka apapun yang terjadi nanti, itulah yang mungkin pilihan yang terbaik dalam hidupku. Aku tidak mau seseorang akhirnya terluka lebih dalam lagi karena penghianatanku. Aku sendiri tidak habis fikir kenapa sosok Dewi Lestari yang baru aku kenal selama tiga bulan ini, mampu menggeser kelembutan dan kesetiaan Bunga yang begitu sempurna. Bahkan meskipun aku sudah sering berjalan dengan Dewi Lestari, hingga saat itu aku belum berani mengungkapkan persaanku kepadanya. Sosok Dewi yang jinak-jinak merpati dan misterius itu masih menyisakan keraguanku untuk berterus terang mengungkapkan isi hatiku. Di tambah lagi rasa bersalah yang selalu menggema atas penghianatan hatiku kepada Bunga.

Di antara kebimbangan yang masih kurasakan, sesekali aku masih berharap pertemuanku kali ini dengan Bunga, mampu sedikit-demi sedikit menggeser kembali posisi Dewi Lestari dalam hatiku. Aku masih berharap bahwa kehadiran Dewi Lestari dalam relung hatiku hanya disebabkan oleh kehausanku akan aura cinta kasih yang tidak lagi aku dapatkan karena jarak yang memisahkan aku dan Bunga. Akhirnya, meskipun aku belum menentukan pilihan, aku berketetapan hati, apapun yang terjadi, jika Tuhan masih menghendaki kehadiranku dalam kehidupan Bunga, maka sosok Dewi Lestari akan terkikis dengan sendirinya ketika aku telah berjumpa dengan Bunga di Bandung nanti.

Hatiku mulai sedikit agak tenang, dan karena badan dan fikiran yang terlalu lelah, pada saat Bis memasuki kota Sumedang, tanpa terasa aku mulai terlelap. Aku mulai bangun kembali ketika perjalanan mulai masuk ke kota Bandung dan bis mulai mendekati terminal Cicaheum. Aku turun dari bis dan berjalan ke arah angkutan kota dengan jurusan yang menuju arah tempat kos Bunga. Bunga sudah tidak lagi tinggal di asrama, tetapi tempat kosnya masih berada dekat di sekitar kampusnya. Bunga tidak lagi sekamar berdua dengan Ratna, tetapi dia lebih memilih sendiri agar lebih “privacy” katanya. Ratna masih tetap berada dalam satu kos yang sama, tetapi dalam kamar yang berbeda.

“Assalamualaikum…!” aku menyapa dan menghampiri beberapa penghuni yang sedang duduk-duduk di teras rumah kos-kosan itu.

“Bunga ada mbak ..?” tanyaku pada salah seorang penghuni yang kebetulan pertama kali melihatku.

Sebelum pertanyaanku sempat dijawab, tiba –tiba saja sosok Bunga muncul dari pintu sebuah kamar yang kebetulan menghadap ke arah teras itu . Tangan kanannya mendekap mulutnya sendiri, dengan mata yang berkaca-kaca . Dia tergopoh-gopoh menghampiriku dan tanganya yang lembut menggenggam tanganku serta membimbingku berjalan ke arah kamarnya.

“Masuk mas…”, dia mempersilahkan aku memasuki kamarnya. Pintu kamar dibiarkannya terbuka, karena dia tidak ingin teman-temanya, sesama penghuni kos berfikiran yang macam-macam atas kehadiranku di kamar itu.

“Tas nya taruh disitu saja mas..” dia menunjukkan suatu tempat, disisi tempat tidurnya dan memintaku meletakkan tas ransel yang aku bawa. Dia berjalan ke arah meja di kamarnya dan membuatkanku secangkir kopi. Bunga memang sangat tahu kalau aku adalah seorang pecandu kopi berat. Dia sendiri sebenarnya tidak suka minum kopi, tetapi entah mengapa setiap aku datang mengunjunginya dia selalu saja siap membuatkan aku secangkir kopi manis kesukaanku.

“Silahkan mas diminum dulu…” dia menghampiriku yang sudah duduk di karpet di sebelah tempat tidurnya dan meletakkan secangkir kopi itu tepat dihadapanku.

“Oh iya, terima kasih dik..” jawabku lirih, sambil terus memandanginya. Bunga terlihat lebih kurus, tetapi terlihat lebih dewasa dan lebih cantik dibandingkan satu tahun yang lalu, dimana aku terakhir kali menemuinya. Bibir tipisnya yang indah dan dilapisi pewarna bibir yang lembut kembali tersenyum merekah dengan mata indah yang masih tetap berkaca-kaca . Aku menggeser dudukku dan mendekatinya, kuraih pundaknya dan kuberanikan diri untuk memeluknya. Bunga diam saja dan membiarkan aku melepaskan rasa rindu yang selama masih tersisa. Oh Tuhan, .. apakah aku tega menceritakan semuanya kepada dia. Makhluk apa aku ini yang tega menyakiti hatinya yang begitu tulus dan setia. Tiba-tiba saja bayangan sosok Dewi Lestari kembali melintas di kepalaku. Aku melepaskan pelukanku, dan kembali duduk bergeser menjauhi Bunga.

“Ada apa mas…? Mas Tomy kok kelihatan aneh ?“, Bunga sepertinya mulai merasakan ada sesuatu yang menganjal dalam hatiku. Dia menatapku dengan ekspresi wajah yang seolah-olah akan melontarkan beribu-ribu pertanyaan yang akan begitu menghujam ke arahku.

Aku menghela nafas agak dalam dan sedikit-demi sedikit mulai tertunduk , aku tidak lagi berani menatap matanya yang bening dan indah itu. Beban berat seakan-akan kembali menimpa kepalaku.

“Apakah Dewi adikku belum cerita sama dik Bunga..?” aku bertanya menyelidik dan kembali menatap wajahnya yang lembut itu. Bunga tetap membalas tatapanku dan tetap terdiam. Kepalanya menggeleng, memberikan isyarat bahwa Dewi adikku memang belum bercerita mengenai kondisiku yang saat ini sudah terlalu dekat dengan Dewi Lestari teman sekantorku. Semakin berat rasanya aku untuk mulai berterus terang, karena berarti Bunga sama sakali belum siap untuk menerima pengakuanku yang pasti sangat menyakitkan.

Senyum Bunga saat itu sudah mulai samar-samar terlihat, berganti dengan wajah yang mulai menampakkan rasa kekhawatiran.

“Ceritakan saja mas.., bukankah selama ini mas Tomy selalu bercerita kepada Bunga, kalau sedang menghadapi masalah..?”, Bunga mencoba kembali menata hatinya dan berusaha tegar. Aku kembali menghela nafas panjang dan tertunduk, tetapi aku tetap terdiam. Mulutku serasa terkunci dan berat sekali untuk bersuara, bahkan untuk sekedar mengucapkan sebuah kata. Kali ini Bunga yang mendekat ke arahku, tanganku digenggamnya dengan lembut.

“Katakan saja mas..mudah-mudahan Bunga siap mendengarnya..”. Aku mengangkat wajahku dan kembali menatap bunga. Aku kumpulkan sisa-sisa keberanianku dan membalas genggaman tangannya.

“Mas,.. mas Tomy mencintai wanita lain, teman sekantor mas” , akhirnya terlontar juga pengakuan dari mulutku. Aku masih tetap menatap Bunga dengan ekspresi wajah seperti orang pesakitan yang sedang menunggu sebuah keputusan pengadilan. Ekspresi wajah Bunga sedikit tersentak, tetapi kembali menampakkan wajahnya yang tegar. Tangannya masih tetap mengenggamku tidak berkurang sedikitpun.

“Sebenarnya Bunga sudah sedikit menduga, karena beberapa bulan ini, mas sudah tidak pernah lagi membalas suratku”, “Surat dik Dewi, juga terasa tidak seterbuka seperti dulu”. “Tetapi Bunga berusaha untuk selalu menepiskan semua pikiran-pikiran jelek tentang mas, Bunga hanya tetap selalu berdoa agar Tuhan selalu memberikan yang terbaik buat Bunga”. Jawabannya begitu tenang dan pasrah, membuat rasa bersalah semakin menjadi-jadi menyiksaku. Kami terdiam beberapa saat, tangannya yang masih aku genggam mulai terasa dingin dan berkeringat.

“Tetapi, apa mas Tomy sudah yakin untuk mencintai dia ?.”, “Tidak ada lagi rasa cinta mas kepada Bunga?” pertanyaan itu kembali dilontarkan Bunga untuk menguji kesungguhan pengakuanku. Meskipun sudah sedikit menduga, tetapi dia belum merasa yakin kalau aku benar-benar mencintai Dewi lestari, teman sekantorku itu.

“Mas sebenarnya masih sayang sama bunga”,

“tetapi mas tidak mau menghianati Bunga”.

“Lebih baik Bunga merasakan rasa sakit itu sekarang, daripada nanti-nanti setelah semua yang tidak kita harapkan terjadi”.

“Ma’afkan mas ya dik..!”

Bunga terdiam dan mengangguk, senyumnya kembali tersungging tetapi kali ini terasa penuh dengan kegetiran dan keterpaksaan. Hatinya terluka, tetapi tidak mau pria yang disayanginya selalu diliputi rasa bersalah. Begitulah selalu hubunganku dengan Bunga selama ini, tidak pernah ada amarah dan emosi yang meledak-ledak. Yang ada selalu keteduhan dan saling mengalah. Kali ini, terpaksa Bungalah yang harus mengalah, melepaskan pria yang dikasihinya mencintai wanita lain yang sama sekali tidak kenalnya.

Malam itu Bunga memintaku untuk menginap di kamarnya. Untungnya induk semang kos-kosan Bunga tidak tinggal serumah. Teman-teman kosnya pun hanya diam saja, dan mungkin memaklumi perasaan sepasang kekasih yang sedang di landa rindu. Sepanjang malam itu Bunga tertidur dalam pelukanku, dia seakan tidak mau melepaskanku. Aku tidak bisa tertidur, tetapi anehnya sepanjang malam itu justru sosok Dewi Lestari yang selalu berputar-putar dalam otakku.

Pagi harinya, aku bersiap untuk pulang kembali ke Semarang. Bunga memutuskan untuk ikut mengantarku dan sekalian pulang ke rumah orang tuanya di Cerebon. Sepanjang jalan dalam Bis antar kota, kami kembali mengenang masa-masa saat kami berkenalan dulu. Kepalanya terus saja bersandar di pundakku, tangan sebelah kiriku selalu dipeluknya dan genggaman tangannya tidak mau melepaskan sebelah tanganku yang dipeluknya itu. Mataku merah karena semalaman tidak tidur, sedangkan mata Bunga terlihat sembab karena semalaman menangis dalam pelukanku.

Bunga memintaku untuk mampir ke rumahnya di Cirebon, tetapi aku menolaknya dengan halus. Aku benar-benar menjadi seorang yang pengecut, karena sebanarnya aku menolak mampir ke rumah bunga karena aku tidak berani berhadapan dengan Ibu dan kakak-kakaknya.

Begitulah sepenggal kisah di bis antar kota yang pernah mewarnai rangkaian cerita kehidupanku. Kisah itu berawal dalam sebuah bis antar kota dan berkahir pula disana. Selamat tinggal Bungaku tersayang, semoga kamu mendapatkan pria yang lebih baik dariku. Terima kasih, karena engkau sempat mewarnai hari-hariku yang indah selama bersamamu.

Mununggu Cinta dan Bis Kota ..

Sepanjang masa aku selalu mengingat kisah itu. Aku juga teringat dengan sebuah Blog yang menceritakan sebuah analogi bahwa menunggu cinta adalah sama seperti sedang menunggu datangnya bis kota. Ketika sebuah bis kota datang, kita seringkali enggan mendekatinya meskipun bis itu menuju jurusan yang sama dengan tujuan kita. Karena memang bis itu penuh, lagi pula tidak ber AC. Tetapi ketika bis selanjutnya datang, masih kosong dan ber-AC, bis tersebut justru tidak mau berhenti untuk kita, bahkan sang kondektur pun seolah enggan melihat kita. Dan akhirnya, ketika waktu sudah semakin mendesak, kita bersedia naik pada bis berikutnya, meskipun bis itu sesak dan tidak ber-AC. Di tengah perjalanan tiba-tiba saja kita merasakan bahwa bis yang kita tumpangi itu adalah bis dengan jurusan yang berbeda dengan tujuan kita.

Begitu pulalah kita, ketika sebuah cinta mendekati kita. Kita sering tak acuh dan mengabaikannya, hanya karena cinta itu tidak sesuai dengan kriteria kita. Kemudian kita melihat ada cinta lain yang begitu terlihat sempurna, akan tetapi justru cinta itu tidak berpihak kepada kita. Dia berlalu begitu saja tanpa sedikitpun menghiraukan kita. Dan pada saatnya kita terdesak oleh waktu, maka cinta apapun bentuknya dengan terpaksa kita terima. Celakanya cinta itu ternyata adalah bukan cintai yang sesuai dengan tujuan hidup kita. Pada akhirnya kita akan menyesal dan mengutuk diri kita sendiri, karena telah menyia-nyiakan kesempatan yang datang menghampiri kita. Tidak ada gading yang tak retak… begitulah sebuah pribahasa mengatakan. Tidak ada yang sempurna di dunia ini selain Tuhan, maka sambutlah cinta yang menghampirimu apapun keadaannya asalkan cinta itu mempunyai tujuan hidup yang sama dengan tujuan kita. Meskipun di tengah perjalanan kita ternyata tidak nyaman, toh kita masih bisa berteriak kiri…kiri…. Maka bis itu akan berhenti dan dengan rela akan melepaskan kita.

Aku adalah seorang yang mau menghampiri dan menaiki bis yang pertama aku temukan. Kalaupun bis itu masih kosong dan ber-AC serta memiliki tujuan yang sama pula dengan tujuanku, itu adalah suatu kebetulan. Akan tetapi di tengah perjalanan susananya yang nyaman, justru membuatku merasa terasing, maka kemudian akupun berteriak kepada sang kondektur..kiri…kiri…. Bis pun berhenti berlahan. Kemudian akupun tergesa-gesa turun, berlari-lari kecil mengejar bis lain yang lebih kecil meskipun bis itu tidak ber-AC.

Mungkin sikapku itu, termasuk sikap orang yang menganut paham anti kemapanan. Aku merasa terasing dalam lingkungan yang justru sangat teratur dan sempurna. Aku justru lebih memilih situasi yang lebih menantang dimana segala hal memang harus diperjuangkan. Entahlah sikapku ini wajar atau dinilai tidak normal. Tetapi aku adalah aku, aku bukan siapa-siapa, aku adalah orang yang selalu ingin menciptakan mimpi-mimpi baru, dan aku ingin bahwa mimpi-mimpiku itu adalah keadaanku yang sebenarnya di masa-masa yang sedang menantiku.

Malam itu bulan sabit, bentuknya yang hanya seperdelapan bagian menampakkan wajah langit seolah seperti sedang memicingkan mata. Alam seakan sedang ikut mendengarkan debaran jantungku yang semakin tidak menentu. Lalu lalang kendaraan diseberang jalan seolah bergerak tanpa suara, semuanya serasa hening, ikut menunggu sebuah keputusan besar yang sesaat lagi akan aku dapatkan. Suasana di sekitarnya yang temaram membuat aku sukar sekali menebak-nebak akan kemana ekspresi wajah Bunga selanjutnya.

Secara berlahan aku melihat senyum Bunga mulai merekah....., Bunga mengangguk tanpa bersuara. Seolah tak percaya aku dekatkan lagi wajahku untuk menatap wajahnya lebih jelas. Matanya yang bening dan indah nampak berkaca-kaca, senyumnya tetap tersungging di wajahnya yang teduh dan merona. Spontan aku meraih tangannya dan menggengamnya. Saat itu seoalah ada bagian dari hatiku yang meledak bercerai berai, beban kekhawatiran yang tadi sempat menggumpal, kini terlepas begitu saja. Hingar-bingar lalulintas di seberang jalan, kini seakan kembali terdengar.

"Auw..! jangan keras-keras mas...", Bunga memekik sedikit agak kencang. Beberapa pasang mata seketika melihat kearah kami dengan ekspresi wajah yang bertanya-tanya..

"Maaf-maaf....", rupanya tanpa sadar aku telah menggenggam tangan Bunga dengan kencang.

Aku longgarkan genggamanku, dan kini beralih mengusap-usap punggung tangannya yang kesakitan. Berulang-ulang aku bisikkan kata maaf. Aku melirik ke sekelilingku dan aku lihat beberapa orang menggeleng-gelengkan kepala dan kembali berpaling ke kegiatannya semula. Senyum Bunga yang tadi sempat ter-jedah kini kembali merekah menebarkan pesonanya. Bunga membalas tatapanku seolah ingin kembali menguji keseriusanku. Sesat aku dan Bunga saling bertatapan, dengan kedua tangan tetap saling berggenggaman. Suara musik 'slow rock' yang sayup-sayup terdengar, seolah-olah berubah menjadi dentingan gitar lagu-lagu kenangan. Malam itu kembali menjadi malam yang teramat indah bagi diriku.

Aku memasuki babak baru dalam hidupku, masa dimana aku mulai merasakan cinta dengan seorang wanita yang sesungguhnya . Mungkin inilah saatnya aku mulai harus berfikiran dewasa. Hari-hari selanjutnya seakan hanya milik aku dan Bunga. Frekwensi pertemuanku dengan Bunga kini tidak hanya lagi setiap malam minggu. Kapanpun aku butuh teman untuk berbicara atau Bunga membutuhkan tempat 'curhat', kami selalu berusaha untuk berjumpa. Hanya saja kesibukanku menyelesaikan tugas akhirku dan kesibukan Bunga mengerjakan tugas-tugas kuliahnya masih tetap membuat kami tidak sertamerta leluasa untuk selalu bersama. Kami memang sepakat, apapun perkembangan hunbungan kami, kuliah tetap nomor satu. Latar belakang keluargaku yang berasal dari keluarga sederhana membuat hubunganku dengan bunga tetap bersahaja. Tidak ada acara jalan-jalan di 'mall' atau ketempat-tempat hiburan untuk berfoya-foya. Hanya sesekali, jika ada jedah kuliah, kami berjalan-jalan ke tempat-tempat wisata di sekitar kota Bandung, itu pun berombongan dengan teman-teman sekampus Bunga atau teman-teman satu kosku.

Waktu terus berlalu, Tugas Akhirku sudah berhasil aku selesaikan, dan hasilnya cukup memuaskan. Aku tinggal mununggu hari wisudaku. Masa tenggang menunggu waktu wisuda kebetulan berbarengan dengan liburan semester di kampus Bunga, sehingga aku memutuskan untuk mengajak Bunga pulang ke kampungku, berkenalan dengan keluargaku.

Perjalanan menuju ke kota kelahiranku memang melewati kota di mana Orang Tua Bunga tinggal. Kami memutuskan untuk mampir dulu ke rumah orang tua Bunga, disamping berkenalan dengan keluarganya, juga untuk meminta izin mengajak Bunga berkunjung ke kampung halamanku menemui orang tuaku. Bunga adalah anak bungsu dan perempuan satu-satunya, semua kakaknya adalah laki-laki, ayahnya sudah tiada sejak dia masih duduk di Bangku SMP.

Kami kemudian melanjutkan perjalanan ke rumah orang tuaku. Untunglah kedua orang tuaku bisa menerima Bunga dengan apa adanya. Terutama ibuku, maklum ibuku juga hanya mempunyai anak perempuan semata wayang, yaitu anak keduanya adikku Dewi. Bahkan mereka berdua, Dewi dan Bunga cepat sekali akrab, keduanya hampir sebaya. Hatiku benar-benar berbunga-bunga, karena ternyata semua anggota keluargaku bersedia menerima keberadaan Bunga. Bunga memang termasuk wanita yang mudah bergaul dan cepat sekali dapat menyesuaikan diri dengan keadaan keluargaku yang sederhana.

Kami tidak berlama-lama, karena Bunga harus mulai kembali mempersiapkan kuliahnya. Akhirnya kami berangkat kembali ke Bandung. Aku juga masih harus tetap berangkat ke kampus agar selalu mendapatkan informasi terbaru tentang program-program magang yang banyak ditawarkan oleh beberapa perusahaan besar. Mereka seringkali juga mengadakan sesi rekruitmen di kampus. Aku juga semakin sering mencari-cari iklan lowongan kerja di Koran. Sampai akhirnya hari Wisuda tiba. Bunga aku ajak mendampingiku saat wisuda. Dia begitu cantik dan tampak sempurna, posturnya yang tinggi semampai memang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan tinggi badanku. Tetapi dandananku yang lengkap dengan Jas dan topi wisuda, membuatku masih terlihat dapat mengimbanginya.

Hubunganku hari demi hari semakin terasa indah. Aku dan Bunga mulai melambungkan mimpi-mimpi kami berdua tentang kehidupan yang bahagia di masa depan. Kami berdua mempunyai karakter yang hampir serupa, yaitu sama-sama mudah mengalah. Sehingga selama masa kami berpacaran tidak pernah sekalipun kami bertengkar, seperti halnya yang sering terjadi pada pasangan-pasangan lainnya. Entahlah, ini suatu keadaan yang wajar atau tidak normal, yang jelas Bunga begitu menghormatiku sebagai pria, begitu pula aku begitu menyayanginya seperti aku menyayangi adik perempuan semata wayangku Dewi.

"Dik Bunga,...aku dapat kerja di Semarang".

"Kebetulan tempat kerjaku dekat dengan tempat Dewi kuliah di Semarang", aku melanjutkan tanpa menunggu tanggapan dari Bunga.

"Selamat ya mas..." suaranya begitu lirih dan datar. Aku merasakan ada sebuah perasaan yang sangat mengganjal dalam hatinya. Mungkin dia membayangkan hari-hari yang akan terasa sepi tanpa aku berada disisinya. Atau dia mungkin mulai merasakan firasat bahwa akan terjadi suatu perubahan yang besar dalam warna-warna kehidupannya di kemudian hari.

Tiba-tiba saja, Bunga berhambur ke arah dadaku dan memelukku dengan erat, sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya. Kami memang sudah menjadi kekasih selama lebih dari satu tahun, tetapi sejauh itu, kami hanya saling berpegangan tangan, entahlah mungkin karena dalam pandangan agama kami berpelukan antar lawan jenis adalah hal yang tabu untuk dilakukan. Akan tetapi pada saat itu, dengan sedikit agak ragu, aku mulai membalas pelukannya, dadaku terasa panas dan semakin berdebar-debar.

"Tapi mas Tomy nanti harus sering datang ke Bandung ya ..kalau ada cuti.!" , "Mas Tomy juga jangan males nanti membalas surat-surat Bunga". Bunga mulai merajuk dengan posisi masih berada dalam pelukanku.

"Iya..mas Janji...", jawabku untuk menenangkannya.

Seminggu kemudian aku berangkat ke Semarang. Bunga ikut mengantarkanku hingga kota Cirebon, sekaligus dia pulang ke rumah orang tuanya.

Sebagai karyawan baru, aku berusaha giat bekerja. Hampir enam bulan aku berada di Semarang dan menjalin cinta jarak jauh dengan Bunga. Hampir setiap minggu kami saling berbalas surat. Surat Bunga kepadaku selalu di alamatkan ke tempat kos adikku Dewi. Selain mengirim surat buatku, Bunga juga mengirim surat untuk Dewi. Nampaknya adikku dan Bunga sudah semakin dekat, mereka saling terbuka satu sama lain, saling menceritakan perasaan mereka dan masalah-masalah mereka. Aku sendiri semakin disibukkan dengan pekerjaan baruku. Aku sering ditugaskan keluar kota, hingga kadang-kadang aku harus berda di luar kota selama lebih dari dua minggu. Jadi semakin sering aku tidak bisa membalas surat Bunga secara tertib. Paling-paling aku menitip pesan ke Dewi kalau dia nanti membalas surat dari Bunga.

Pada suatu saat aku mendapatkan cuti pertamaku, aku berangkat ke Bandung. Aku mengajak adikku, karena Bunga meminta agar aku mengajak Dewi juga. Pada saat lain aku juga mengajak Dewi untuk mengunjungi Bunga yang sedang melakukan Kerja Praktek sebagai guru di Kota Solo. Kebetulan Solo tidak terlalu jauh dari Semarang, sehingga hampir setiap minggu aku datang mengunjunginya di Solo. Kadang-kadang aku sendiri, tetapi lebih sering aku mengajak adikku Dewi.

Satu tahun kemudian...

"Tom..Tomy, hushh...!" , temanku Agung berbisik agak keras memanggil-manggil namaku yang masih serius bekerja. Mataku terfokus pada layar komputer, sehingga tidak begitu mendengar waktu si Agung memanggilku dari tadi.

"Ada apa sih ?!..ganggu aja kamu..",

"Itu tuh ada karyawan baru.... cewek..cakep ",

Teman-temanku memang tidak tahu kalau aku sedang menjalani "long distance love". Mungkin inilah kesalahanku, aku tidak memperkenalkan Bunga dengan teman-temanku, tapi itu karena memang belum ada kesempatan aku mengajak Bunga menemui mereka. Apalagi saat itu, bunga sudah mulai memasuki tingkat Tiga dimana dia semakin sibuk dengan tugas-tugas prekteknya. Bahkan aku sendiri pun sudah hampir 1 tahun ini tidak bertemu. Kami hanya masih saling membalas surat.

Di tengah-tengah kuantitas komunikasi yang semakin berkurang dengan Bunga, akhirnya aku ikut-ikutan berkompetisi dengan teman-teman sekantorku untuk memperebutkan perhatian Dewi, nama karyawan baru yang cantik itu. Lengkapnya Dewi Lestari. Kebetulan namanya memang sama dengan nama adikku. Wataknya pun sama kerasnya dengan watak adikku itu. Berbeda dengan Bunga yang selalu lembut dan mau menerima apapun pendapatku. Kalupun ada pendapatku yang salah, Bunga akan mengingatkanku dengan cara yang sangat halus, sehingga kadangkala aku tidak merasa kalau aku sedang diingatkannya, tetapi secara tiba-tiba aku akan menyadarinya bahwa pendapatku itu salah. Bunga memang memiliki karakter yang ideal untuk seorang "Istri". Setidaknya itulah pendapatku pada saat itu.

Lestari atau Dewi teman sekantorku itu memang jinak-jinak merpati. Entah suatu berkah atau justru malapetaka, tetapi ternyata Dewi Lestari lebih suka membagi perhatiannya kepadaku. Akhirnya aku sering jalan berdua, adikku Dewi sudah semakin sering mengingatkanku. Entahlah apakah Bunga nan jauh disana..sudah mengetahuinya atau belum, mungkin hanya Dewi adikku yang tahu.

Yang menjadikan aku sering bertambah penasaran terhadap Dewi Lestari, adalah sikapnya yang kadangkala lebih suka pergi dengan teman-teman sekantorku yang lain, dari pada aku ajak untuk jalan-jalan berdua denganku. Tetapi di saat yang lain dia minta aku mengantarkannya, untuk pergi ke tempat saudaranya atau teman dekatnya.

Begitulah hari-hari terus berlalu, dimana sedikit-demi sedikit bayangan Dewi Lestari mulai menggeser gambar Bunga di langit-langit kamarku. Semakin hari aku semakin didera dilema. Entahlah apakah aku sekarang sedang "Selingkuh" atau aku sedang berada di persimpangan jalan.

"Aku harus memutuskan..!". Aku akhirnya berusaha mengambil cuti dan memutuskan untuk berangkat ke Bandung menemui Bunga untuk berterus terang kepadanya.. ..........(bersambung)

"Bu ..Tomy berangkat dulu ya.., nanti Tomy kabari kalau sudah sampai", aku menyalami ibuku dan meraih tangannya ke bibirku dan menciumnya. Ibuku merengkuh kepalaku dan menciumi kedua pipiku.

"Udah cepet!...nggak dapat bis lho..", bapakku berteriak dari luar. Bapakku memang sedang menunggu diluar dengan kendaraan roda dua yang sudah dihidupkan dan siap untuk mengantarkanku ke Terminal Bis antar kota.

Aku sudah seminggu di rumah, menikmati liburan setelah ujian semesteran. Tidak banyak yang aku lakukan dirumah, hanya bermalas-malasan saja, bercanda dengan adik-adiku, atau melerai kedua adikku yang sering kali bertengkar, maklum usia kedua adikku itu hanya bertaut 3 tahun. Adikku yang bungsu waktu itu masih duduk dibangku SMP kelas 3 dan kakaknya duduk di bangku SMA kelas 2. Meskipun lebih muda, si bungsu memiliki postur yang besar, sehingga mereka berdua nampak sebaya.

Sesampai di terminal bis antar kota, aku berpamitan, mencium tangan bapakku , dan segera berlari menuju Bis yang segera akan berangkat. Bis itu adalah bis jurusan Bandung, kota dimana aku kuliah saat itu. Kebetulan aku mendapatkan dua buah kursi yang kosong, aku segera duduk dan memilih kursi di sisi jendela. Waktu itu hari minggu, jadi bis yang aku tumpangi sudah cukup penuh, banyak penumpang yang kembali ke kota tempat biasa mereka kerja, kuliah atau sekolah, hanya ada tersisa satu kursi kosong di sebelahku. Sepanjang perjalanan aku hanya memandang keluar bis melihat-lihat suasana di sepanjang jalan yang aku lalui. Tanpa terasa aku terlelap dan aku baru mulai sadar ketika Bis mulai memasuki Terminal Cirebon.

"Boleh saya duduk di sini ?", sebuah suara lembut tiba-tiba mengejutkanku.

Aku mencari sumber suara itu, dan rupanya saat itu Tuhan sedang menjatuhkan bintang di pangkuanku. Sosoknya semampai, manis dengan rambutnya yang panjang tergerai di kedua pundaknya, benar-benar seperti seorang bidadari, setidaknya seperti itulah penilaianku pada saat itu. Dengan gugup dan suara agak bergetar kemudian aku mempersilahkan dia duduk, duduk di kursi yang kosong di sebelahku. Bis tumpanganku kemudian mulai berangkat menuju kota tujuan. Beberapa saat suasana sepi, aku hanya terdiam sambil sedikit-demi sedikit menata kembali kesadarnku. Aku mencoba melirik ke arah mahluk indah di sebelahku dan pada saat bersamaan dia juga sedang mandang ke arah jendela di sebelahku. Dia tersenyum, dan karena sudah tertangkap basah meliriknya, akhirnya aku memberanikan diri untuk berkenalan,

"Turun di mana mBak? ".

"Bandung,.." jawabnya singkat,

"Oh kalu begitu sama..., Kuliah ? atau Kerja ?" .

"Kuliah..", mungkin dalam pikirannya, apa-apaan orang ini belum kenal sudah menginterogasi...

" Oh ya, maaf boleh kenalan ? Nama saya Tomy", tanyaku sambil aku menyodorkan tangan kananku,

"Bunga..!" jawabnya sambil menyambut, menyalamiku.

Wow..! tangannya begitu lembut dan halus, seakan-akan aku enggan melepaskannya kembali, tetapi sebelum dia mulai berfikiran yang macam-macam, aku segera melepaskan tangannya kembali dan melanjutkan pertanyaanku kembali.

"Kuliah dimana ?", "di NHI , mas sendiri ke Bandung Kuliah apa kerja ?" ,

"Kuliah di ITB, Fakultas Teknik, Bunga sendiri ambil jurusan apa ?",

"Pariwisata..",

"Wah enak dong..! nanti kerjanya berarti Jalan-jalan terus...", kataku menimpali.

"Ah, ya enggak.. nanti aku jadi guru..guru SMK, aku kuliah kan dapat beasiswa dari Departemen P dan K, jadi nanti setelah lulus kuliah aku kontrak 3 tahun mengajar di SMK jurusan pariwisata di seluruh Indonesia. Aku nggak tahu nanti dapat tugas pertamaku dimana, mudah-mudahan sih masih di Pulau Jawa",

"Emang udah semester berapa sih ?",

"Baru semester satu kok mas...",

" oh...".

Kemudian pembicaraan tiba-tiba saja terasa menyenangkan, tanpa terasa kami sudah memasuki kota Bandung, dan sebelum turun aku sempat meminta alamat kost-nya dan meminta ijin untuk mengunjunginya.

"Bunga,...aku boleh main ke tempatmu nggak? ",

"Ya boleh aja..dong",

"Emang nanti nggak ada yang marah ?".

"Ah..apa-apan sih, nggak-enggak..aku tunggu bener lho...".

Kami berdua kemudian mencari angkutan kota, sayangnya angkutan kami jurusannya berbeda.

Merasa dapat lampu hijau, disepanjang jalan diangkutan, aku kadang-kadang tersenyum sendiri. Beberapa orang disebelahku memperhatikanku dan saling berbisik dengan rekan disebelahnya, Entah apa yang mereka bicarakan, aku tidak memperdulikannya lagi. Yang ada dipikiranku saat itu adalah masa-masa dimana aku dan bunga saling berbicara di dalam Bis antar kota tadi.

Hari-hari berikutnya aku mulai disibukkan kembali dengan kegiatan kuliahku, maklum saat itu aku mulai masuk ke semester terkhir, dan mulai mempersiapkan menyusun tugas akhir. Sampai pada saat malam minggu aku akhirnya memberanikan diri mengunjungi Bunga di tempat kos-kosannya. Sesampai di tempat kosnya, susananya ramai seperti suasana di rumah sakit pada saat terjadi wabah demam berdarah, ternyata kos-kosan tempatnya tinggal adalah sebuah asrama putri, memang di NHI Bandung terkenal cewek-ceweknya cantik-cantik. Di beberapa sudut bangunan terdapat baberapa sejoli yang sedang bercengkrama, dengan agak ragu-ragu aku menghampiri sekelompok cewek yang sedang bergerombol, dan aku menanyakan apakah Bunga ada di rumah.

" Oh mas Tomy ya..?" lo.. kok tahu namaku ya.? pikirku, sebelum aku lebih jauh bertanya, cewek itu kemudian melanjutkan " Saya Ratna, teman sekamar Bunga ",

"Udah ditungguin kok dari tadi".

Wah ternyata Ratna tidak kalah cantiknya dengan Bunga, hanya bedanya tubuhnya lebih berisi dibandingkan Bunga. Tidak berapa lama Bunga pun keluar, didampingi Ratna di sebelahnya.

"Udah kenalan ya, tadi sama Ratna..,bilang apa aja tadi mas..? kalau yang jelek-jelek itu bohong mas, tapi kalu yang bagus-bagus itu pasti betul...he..he." , Bunga mencoba mengajakku bergurau untuk mencairkan suasana.

" Mas, kita ngobrolnya sambil jalan-jalan aja ya mas di depan, nanti Bunga ajak ke tempat jajan langganan Bunga dan temen-temen, enak kok suasananya".

Mungkin bunga menangkap gelagatku yang merasa tidak nyaman denga suasana ramai di tempat itu. Kebetulan di sebrang jalan sekitar asramanya banyak berderet-deret warung-warung makan dan tempat jajanan tempat biasanya warga asrama dan sekitarnya makan atau sekedar membeli jajanan. Akhirnya aku menyetujuinya dan kami masuk ke sebuah tempat mangkal para mahasiswa/mahasiswi NHI. Suasannya sangat menyenangkan, ada alunan musik lembut, dan pencahayaan yang tidak terlalu terang. Wah pokoknya apel pertamaku begitu mengesankan. Entah pada kunjungan yang keberapa, akhirnya aku memberanikan diri untuk menyatakan cinta kepada Bunga, dan meminta dia bersedia menjadi kekasihku. Aku sangat khawatir menunggu jawabannya, karena untuk beberapa saat dia terdiam. Wajahnya memandangiku seperti tanpa ekspresi. Entah apa isi pikirannya saat itu......... (bersambung).

The Power of Dreams
7:39 PM | Author: Mr.Xu

Ada sedikit perbedaan antara pengertian "Mimpi" dan "Impian". Meskipun dalam bahasa inggris keduanya disebutkan dalam kata yang sama yaitu "Dream". Mimpi sering disebut sebagai bunga tidur, yang menurut para ahli psikologi merupakan suatu visualisasi dari keinginan-keinginan alam bawah sadar kita, sedangkan impian bermakna lebih visioner, lebih memiliki pandangan kedepan atas keinginan yang ingin kita capai. Pengertian impian justru lebih dekat dengan istilah "cita-cita", meskipun sebagian orang menganggap bahwa impian tidaklah lebih realistis dibandingkan dengan cita-cita.

"Adik kalau besar ingin jadi apa ?" pertanyaan tersebut dulu pernah ditanyakan oleh bapak-ibu saya untuk menanamkan motivasi dan memberikan nasehat agar saya tidak malas belajar, dan selalu menjadi anak yang baik. "Aku ingin jadi insinyur !" jawaban yang aku lontarkan dengan cepat, meskipun sebenarnya saya sendiri belum mengerti apakah insinyur itu. Sejak kelas 3 SD, saya mulai mengenal pahlawan dalam pelajaran sejarah. Saat itu saya begitu kagum dengan perjuangan Pahlawan Yos Sudarso yang dengan gagah berani bertempur melawan Belanda di perairan Arafuru. Maka dengan serta merta cita-cita saya menjadi berubah, "Aku ingin menjadi seorang Nahkoda Kapal", begitu jawaban saya ketika pertanyaan di atas berulang kali dilontarkan kembali oleh kedua orang tua saya.

Setelah saya menginjak bangku SMP, pertanyaan tersebut sudah mulai jarang ditanyakan oleh kedua orang tua saya, bahkan mungkin sudah tidak pernah lagi ditanyakan. Tetapi dalam benak remaja saya, cita-cita saya sudah mulai berubah kembali. Pada masa itu, masa orde lama, sosok bapak Ir. Habibie begitu populer di mata saya. Beliau adalah orang yang sangat luar biasa, karena pada saat itu, beliau mampu merintis sebuah industri dirgantara yang hebat dan sarat dengan teknologi canggih, setidaknya begitulah yang saya pikirkan pada saat itu. "Saya ingin bekerja di PT Nurtanio, jika saya lulus kuliah nanti". Begitulah impian saya pada saat itu. Sejak saat itu, entah karena kebetulan atau tidak, pelajaran matematika dan ilmu pengetahuan alam merupakan pelajaran yang paling saya sukai di sekolah.

Saya juga begitu kagum dan terheran-heran dengan sebuah Radio 2 ban milik om saya. Sehingga pada suatu waktu, dengan diam-diam radio itu saya bongkar hanya karena ingin melihat isinya. Tetapi malangnya, karena ilmu elektronik belum banyak yang saya ketahui, maka saya tidak ingat lagi bagaimana cara memasangnya kembali. Al-hasil "Terima bongkar - tidak terima pasang", begitulah kondisi radio 2 ban milik om saya. Nasibnya sangat mengenaskan, tercerai-berai tidak karuan lagi bentuknya. Beruntung om saya saat itu sekolah di STM, di kota kecamatan, jadi radionya masih dapat diselamatkan. Sejak saat itu saya begitu menyukai pelajaran ketrampilan, terutama pada saat ketrampilan elektronika. Saya mencoba menyisihkan sebagian uang jajan saya untuk membeli sebuah solder, sebuah multi tester, dan beberapa kit proyek elektronika sederhana. Semuanya saya coba untuk saya rakit sebisanya, tetapi malangnya lebih banyak proyek yang gagal dari pada yang berhasil. Saya sempat putus asa dan pada saat mulai masuk SMA, saya mempunyai impian "Saya harus bisa kuliah di ITB jurusan Elektronika" supaya saya bisa memahami, mengapa proyek-proyek saya banyak yang gagal.

Seiring berjalannya waktu, saya sudah mulai jarang membuat proyek-proyek baru, kegiatan saya mulai beralih pada aktifitas organisasi di sekolah dan di luar sekolah. Saya sempat mencoba mencalonkan diri menjadi ketua OSIS semasa di SMA, tetapi gagal, dan hanya menduduki posisi sekertaris karena kalah suara. Sampailah pada suatu saat aku mengikuti UMPTN untuk memasuki Institut Teknologi Bandung. Tetapi sayangnya Bapak saya menyarankan agar saya memilih Jurusan Kimia atau Teknik Kimia, beliau meyakinkan saya, bahwa Elektronika itu nanti bisa dipelajari dari buku-buku atau jika perlu nanti ikut kursus montir radio atau televisi untuk bisa mengerti elektronika. Tetapi Jurusan Teknik Kimia itu sangat susah dan langka, begitulah menurut pandangan bapak saya. "Lihat itu, para insinyur teknik kimia di tempat Pakde kamu bekerja, PT PUPUK KUJANG, mereka hidupnya enak-enak, dan mempunyai jabatan yang mapan..!". Pakde saya memang bekerja di PT PUPUK KUJANG, dan karena latar belakang beliau bukanlah seorang insinyur, maka jabatan tertinggi Pakde saya pada saat itu adalah seorang " Kepala Gudang Spare-Part ". Meskipun demikian, pakde saya menerima fasilitas rumah dinas, mobil dinas, dan bermacam-macam fasilitas lainnya dari perusahaan.

Akhirnya, saya memenuhi permintaan Bapak saya dan memilih Jurusan Teknik Kimia di ITB, dan Alhamdulillah saya diterima. Memang sedikit banyak pendapat bapak saya ada benarnya, bahwa Jurusan Teknik Kimia itu jurusan yang langka dan sangat susah, tidak semua Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia ini memiliki Jurusan Teknik Kimia. Entah merupakan suatu kesialan atau justru keburuntungan, di jurusan ini, saya bertemu dengan puluhan anak-anak super di sekolahnya. Mereka begitu superior di setiap mata kuliah. Saya yang masuk dengan separuh hati dan berasal dari sekolah daerah yang tidak sepopuler sekolah mereka, harus bersaing mati-matian untuk tetap bisa lulus dalam semua mata kuliah. "Di atas langit masih ada langit" begitulah mungkin ungkapan yang tepat, artinya bahwa saya yang Lulus SMA dengan Nilai NEM(Nilai Ebtanas Murni) termasuk dalam jajaran tiga besar di sekolah, di Jurusan ini, masih belum apa-apanya. Banyak di antara teman-teman saya mempunyai nilai rata-rata NEM hampir sempurna "sembilan koma lima". Beruntung, meskipun dengan nilai yang pas-pasan, saya termasuk mahasiswa dalam satu angkatan yang berkesempatan ikut wisuda dalam tahap pertama berbarengan dengan dua orang yang lulus dengan predikat "Cum Laude". Memang ada juga satu orang yang sudah ikut di Wisuda lebih dahulu bersamaan dengan wisuda kakak angkatan, bahkan dengan predikat "suma cum laude".

Setelah lulus dan diWisuda, saya mencoba melamar di beberapa perusahaan Kimia besar termasuk di PT. PUPUK KUJANG tempat pakde saya bekerja. Semuanya gagal, karena nilai Indeks Presatasi dan bahasa Inggris saya yang pas-pasan. Sampai akhirnya saya di terima kerja di sebuah perusahaan kecil di daerah, dan secara kebetulan pula perusahaan yang menerima saya tersebut justru adalah sebuah perusahaan Elektronik, dan seterusnya hingga sekarang saya sudah bekerja di beberapa perusahaan yang semuanya adalah perusahaan Industri Elektronika.

Kisah tersebut di atas adalah kisah nyata, dimana secara sadar atau tidak, saya selalu tidak bisa benar-benar lepas dari dunia yang saya impikan sejak semasa SMP dulu. Begitu kuatnya energi impian, sehingga meskipun tanpa Plan A maupun Plan B, apa yang menjadi impian semasa kecil tanpa disadari bisa menjadi kenyataan, meskipun dengan cara-cara yang mungkin tidak diperkirakan.

Jika saja keinginan semasa SMP tersebut bukan hanya sekedar "impian", tetapi benar-benar merupakan sebuah "cita-cita". Maka cita-cita itu akan dapat direncanakan dengan matang, ada Plan A dan ada Plan B. Semua energi akan difokuskan, sehingga setiap tahapan pencapaian, mempunyai landasan yang mantap dan terarah. Kita tinggal menunggu waktu dan saat yang tepat dimana sebuah cita-cita menjadi sebuah kenyataan.

Selama kita masih bisa bernafas dan diberi kesempatan oleh Tuhan, berarti kita masih bisa berharap mempunyai impian. Tidak ada kata terlambat untuk terus memperjuangkan cita-cita, keberhasilan hanyalah masalah waktu pencapaian. Apa yang kita capai saat ini bukanlah suatu kegagalan, tetapi hanyalah keberhasilan yang tertunda. Tuhan menunda keberhasilan kita bukan tanpa tujuan, tetapi Tuhan menilai bahwa saat ini memang kita belum siap menerima keberhasilan.

The Elephant Fans Club
11:44 PM | Author: Mr.Xu

Empat orang sahabat Maman, Rizky, Fikri, dan Teguh senang berdiskusi membahas berbagai macam masalah, baik yang sedang marak dibicarakan orang maupun materi yang hanya kalangan mereka sendiri yang tahu. Mereka adalah kelompok diskusi perhimpunan cacat netra. Mereka melakukan pertemuan rutin di sebuah ruang tamu sebuah yayasan cacat netra, tempat mereka biasa bersosialisasi dengan rekan-rekan senasibnya. Minggu lalu mereka mencoba membahas mengenai terpilihnya Obama menjadi presiden Amerika Serikat. Mereka begitu bangga, bahwa ada seorang yang pernah sekolah dan tinggal di Indonesia, ternyata bisa menjadi pemimpin dunia. Namun kali ini mereka membicarakan topik yang jauh lebih ringan, akan tetapi selalu membuat penasaran fikiran mereka selama ini. Topik bahasannya adalah mengenai seekor gajah. Keempat anggota majelis diskusi itu kebetulan sudah menyandang cacat sejak mereka di lahirkan, maka sudah barang tentu mereka belum pernah melihat bentuk gajah yang sebenarnya sebelumnya.

Fikri, sesuai namanya dia adalah seorang pemikir, banyak ide-ide yang diusulkan, dan memang selama ini banyak pokok-pokok bahasan diskusi berasal dari idenya. Kali ini dia membuka pembicaraan : " Hai pren..kalian tahu tidak binatang yang disebut gajah ? ". " Alah gajah wae te ngarti....", Maman yang memang pribumi sunda asli menimpali dengan semangat dan sedikit agak sombong. " Gajah teh bentuknya kaya ular phiton tetapi suka menyemburkan air" Maman melanjutkannya dengan yakin dan percaya diri. Maman teringat dulu waktu dia berusia 12 tahun SLB tempatnya belajar pernah mengadakan Study Tour di sebuah kebun binatang di Bandung. Waktu itu dia berkesempatan memegang belalai seekor gajah, yang kebetulan saat itu habis minum di kolam kandangnya. Gajah itu menyemburkan air bekas minumnya ke arah Maman, sehingga maman basah kuyup. Waktu itu Maman masih kecil, maka dia menangis sejadi-jadinya dan butuh 3-4 orang guru pembimbing untuk membujuknya. "Salah ! gajah itu seperti kipas " kali ini si Teguh menyela dengan suara keras, membuat teman-temannya yang lain kaget dan Rizky yang sejak tadi mengantuk, hampir saja terjatuh dari tempat duduknya. " Uh ! kamu guh..nggak usah sambil teriak bisa nggak sih?.. udah keras salah lagi..". "Tenang Men.. slow down..santai-santai, kita ini sedang berdiskusi bukan bertengkar", Fikri yang merasa bertanggung jawab membuka pembicaraan berusaha menengahi teman-temannya yang wataknya memang sedikit agak keras. Apalagi si Teguh, benar-benar teguh pendiriannya... dia akan selalu berjuang mempertahankan pendapatnya sampai titik darah penghabisan.. tetapi dia akan dengan jiwa besar menerima pendapat orang lain jika memang argumentasinya sudah habis. "Kamu kok berani menyalahkan Teguh, memang kamu sudah pernah memegang gajah? ", kata Fikri melanjutkan. "Sudah dong!, Gajah itu bulat tinggi berdiri tegak seperti batang pohon kelapa ", "Kulitnya berkerut-kerut tetapi keras". Kebetulan Rizky memang berasal dari daerah pesisir, dimana dikampungnya banyak terhampar perkebunan kelapa. Teguh dan Rizky memang keduanya tidak salah. Teguh pernah memegang telinga gajah dan Rizky pernah memegang kaki gajah pada suatu pertunjukan sirkus yang kebetulan singgah di kampungnya. Fikri sang pemikir menjadi semakin penasaran, kenapa semua temannya mempunyai gambaran yang berbeda mengenai gajah, bahkan semuanya bertentangan dengan pengalaman yang pernah dia rasakan sendiri. " Kalau menurut saya, Gajah itu seperti belut atau ular sawah, bentuknya bulat, kecil dan panjang, tetapi baunya seperti kotoran hewan". " kenapa ya? pendapat kita berempat kok berbeda-beda? pasti ada yang tidak beres... mungkin kita hanya memegang dan meraba sebagian tubuh dari gajah ". Fikri berdiam sebentar, dia memutar otaknya dengan kencang, begitu pula dengan teman-temannya yang lain, mereka sedikit-demi sedikit mulai meragukan pendapatnya sendiri. Bahkan Teguh yang biasanya berpendirian sangat keras, kali ini dia bergumam, "Oh iya..ya..".

Kemudian mereka berempat mulai menggabung-gabungkan semua informasi yang mereka miliki masing-masing, sampai suatu kesimpulan bahwa : "Oh berarti ..yang abdi pegang itu teh Belalainya... pantes waktu itu aku dibuat basah kuyup" Maman mulai mengevaluasi pendapatnya. Teguh tidak mau kalah menimpali, "Kalau begitu, mungkin yang aku raba saat itu telinganya.. berarti telinganya lebar sekali..ya." , teguh berusaha membuat kesimpulannya sendiri . "Wah Kalau Telinganya saja sebegitu lebar, dan kakinya yang dipegang oleh rizky sebesar pohon kelapa, berarti tubuhnya pasti jauh lebih besar lagi. Dan mungkin yang aku pegang dulu itu ekornya..pantes baunya nggak enak."

Begitulah setiap saat suasana diskusi mereka, meskipun diawali dengan saling mengejek dan perdebatan yang sengit, tetapi mereka seolah sudah saling mengerti. Untuk lebih meyakinkan lagi mereka kemudian memutuskan untuk menguji kesimpulan mereka dengan bertanya langsung kepada bapak Tarsiman, salah seorang guru pembimbing dan kebetulan saat ini menjadi pengurus harian Yayasan Tuna netra tersebut.

Mereka, keempat sahabat itu adalah pribadi-pribadi yang selalu terbuka. Mereka tidak saling menyombongkan diri satu sama lain. Sehingga pengetahuan dengan mudah mengalir secara alami ke dalam diri mereka. Mereke terus beranalogi dan saling berbagi informasi untuk mendapatkan sebuah gambaran yang sempurna dari sebuah fakta. Sehingga mereka mendapatkan sebuah hakekat, hakekat dari seekor gajah.

Analogi, sebuah konsep befikir
2:06 AM | Author: Mr.Xu

“Manusia adalah mahluk Tuhan yang paling sempurna”, sebuah ungkapan dalam kitab suci yang bukan diciptakan begitu saja tanpa alasan. Kalimat ini, dalam pola pikiran manusia, bukan sebuah jorgan atau arogansi semata. Karena Tuhan memang membekali manusia dengan sugumpal jaringan yang disebut “otak”, yang dengan formula khusus dan rahasia mempunyai kemampuan superior serta luar biasa dibanding saudara dekatnya binatang. “Otak” manusia dirancang tidak hanya mampu mengolah “insting”, seperti halnya “otak” binatang, tetapi mampu menganalisa, menentukan pilihan, bahkan mampu membuat suatu keputusan.

Proses menganalisa adalah sebuah proses merangkai memori menjadi seuatu pola yang mampu dipahami oleh akal manusia. Proses tersebut merupakan respon yang terpicu oleh fakta-fakta bahwa segala sesuatu di alam semesta diciptakan bukan seperti lukisan abstrak yang sporadis, tetapi dalam bentuk suatu pola, struktur, atau dalam susunan tertentu yang beraturan. Pola atau susunan itu bisa merupakan struktur yang baru sama sekali, atau bisa juga merupakan replika, meskipun dengan skala yang mungkin lebih besar atau lebih kecil. Proses penyetaraan replika-replika inilah yang disebut dengan “analogi”.

Beranalogi berarti berusaha menyetarakan serangkaian fakta menjadi suatu pola yang sama atau hampir serupa dengan pola-pola yang telah kita kenal dalam memori kita. Tujuannya adalah agar kita dapat menduga prilaku sebuah fakta sesuai dengan prilaku pola-pola yang sudah pernah kita pahami, dengan demikian kita bisa memahami sebuah fakta secara utuh baik unsur kemasan yang terlihat maupun unsur tersirat yang tidak kasat mata. Dengan memahami sebuah fakta secara menyeluruh, maka kita akan mendapatkan sebuah hakikat, sehingga kita bisa memberikan respon yang tepat dalam menghadapi fakta yang kita hadapi, yang berarti pula membantu suatu rangkaian sebab akibat berjalan pada jalur yang memang diharapkan.

"Air mengalir sampai jauh...akhirnya ke laut", begitulah hukum alam, karena laut mempunyai ketinggian yang lebih rendah dibanding permukaan daratan, maka berapa panjang dan berkelok-keloknya sungai di daratan, dia akan bermuara di laut juga. Artinya bahwa berdasar hukum keseimbangan alam air akan selalu mengalir ke lokasi yang lebih rendah.

Jika kita mau memahami alam lebih dalam, analogi "Bengawan Solo" di atas dapat kita gunakan untuk membentuk pola fikir kita dalam menyikapi kehidupan. Kita sama-sama mengetahui bahwa Tuhan menyimpan segala macam misteri ilmu didalam tanda-tanda alam. Jika kita ingin belajar dari alam maka kita harus mampu merendah dengan alam, kita harus menghormati alam, kita harus menghargai alam dan kita harus menempatkan diri kita secara mentalitas lebih rendah dari alam. Dengan demikian secara keseimbangan, ilmu alam akan mengalir ke dalam diri kita secara alami dan melimpah.

Semakin merendah diri kita semakin banyak yang alam berikan. Semakin sombong diri kita maka akan semakin sedikit manfaat yang kita dapatkan dari alam.

Perjalanan Sebuah Hakekat
8:32 AM | Author: Mr.Xu
( edisi : Hukum Relativitas Einstein, sebuah analogi )

Tanpa jiwa, tubuh kita adalah onggokan daging dan kumpulan belulang , tidak bermakna apa-apa , tidak ada fungsi dan tanpa guna . Diri kita adalah kombinasi dari unsur visual tubuh dan unsur imajiner jiwa. Setiap unsur visual adalah quantitatif, dapat dihitung. Kita bisa menghitung berapa berat dan tinggi badan kita. Sebaliknya, jiwa adalah unsur imajiner yang bersifat kualitatif, tidak dapat dihitung secara langsung, tetapi hanya dapat diukur dengan cara menghitung dan menganalisa efek-efek visualnya. Kita tidak bisa menghitung seberapa banyak sifat sabar kita, tingkat disiplin kita, jiwa sosial kita, dan rasa keperdulian kita , kecuali dengan cara menghitung respon visual yang muncul sebagai konsekuensi kejiwaan. Bahkan para psikiater harus memberikan bermacam-macam kuesioner, pertanyaan,bahkan game test untuk dapat mengukur tingkat kejiwaan seorang pasiennya.

Delapan hanyalah sebuah angka, tetapi 8 km ke arah utara adalah sebuah petunjuk arah. Angka delapan tanpa satuan dan arah tidaklah berarti apa-apa, tetapi dengan tambahan atribut “km” dan “utara” sebuah angka lebih bermakna, menjadi sebuah petunjuk yang berguna. “8 km” adalah visual-kuantitatif dan “utara” adalah imajiner-kualitatif. Hampir semua fakta alam mempunyai pola yang sama yaitu terdiri atas unsur visual dan unsur imajiner.

Bahkan sang jenius abad ini “Mr. Einstein” memasukkan kedua unsur ini ke dalam formula ajaibnya, “E = mc2”. Menurut “Mr. Jenius” : “Besarnya energi suatu benda yang bermassa “m” dan mempunyai kecepatan dengan percepatan cahaya “c” adalah suatu perkalian besarnya massa benda dan kuadrat nilai percepatan cahaya”. Massa m adalah unsur visual yang bisa dilihat, unsur ini mempunyai bentuk dan menempati ruang, sehingga dapat diukur secara kuantitatif. Kecepatan mempunyai unsur utama waktu “t”, dan diukur dengan cara mengukur besarnya jarak yang ditempuh oleh sebuah massa dalam satuan waktu. Percepatan adalah faktor bertambahnya kecepatan dalam setiap satuan waktu. Meskipun percepatan mempunyai satuan, tetapi sebanarnya percepatan adalah unsur imajiner. Kita baru bisa mengukur percepatan hanya dengan cara mengukur efek visual jarak akibat berpindahnya massa dari suatu lokasi ke lokasi lainnya.

Kesimpulannya, semua objek di alam semesta selalu terdiri dari dua unsur yaitu unsur visual yang “terlihat” dan unsur imajiner yang tidak terlihat tetapi “terasa”. Bentuk tubuh yang indah dan molek, tidaklah bermanfaat apabila tidak disertai dengan sifat dan watak yang indah dan molek pula. Kecantikan jiwa akan lebih berguna dibanding hanya sekedar pesona fisik semata. Kehidupan kita didunia akan lebih terarah apabila segala aktifitas pisik kita tidak melupakan aktifitas spiritual kita .
Sebuah Perjalanan Hakekat
12:03 AM | Author: Mr.Xu

(episode : Makna sebuah Hakekat )

" Don't look the book from the cover ". Suatu ungkapan yang sering disampaikan seseorang untuk mengingatkan kita agar selalu berusaha mencari sebuah hakekat dari suatu peristiwa. Kita kadangkala hanya terperangkap dalam sebuah pesona, sehingga tidak mampu untuk menyikapi sebuah fakta secara benar dan tepat. Setiap fakta selalu tersusun atas unsur yang terlihat dan yang tidak terlihat. Hakekat dari sebuah fakta adalah memaknai suatu peristiwa dengan memperhatikan unsur terlihat dan unsur tak terlihat secara simultan, sehingga kita bisa benar-benar memahami sebuah fakta sebagai sebuah paket bukan berupa pecahan dari tiap-tiap unsurnya.


Saya jadi teringat sebuah cerita yang mengisahkan seorang penggembala kambing yang sedang beristirahat di bawah pohon cemara. Tiba-tiba saja jatuh sebuah bunga cemara yang kering tepat dihadapannya. Penggembala itu kaget, tetapi dia mengambil bunga cemara itu dan memandanginya dengan penuh minat. Perutnya yang lapar membujuk dia untuk berfikiran macam-macam. Dia membayangkan seaindainya Tuhan menciptakan bunga cemara itu berukuran besar seperti buah durian maka saat itu dia sedang membelahnya dan menikmati kelezatannya. Kenapa Tuhan tidak adil ? kenapa bunga cemara diciptakan seperti itu ? sudah kering, tidak harum dan tidak menarik pula rupanya. Di tengah-tengah si penggembala merenungi nasibnya dan berfikiran negatif tentang Tuhan, tiba-tiba saja jatuh bunga cemara yang lain tepat di kepalanya, dia melonjak kaget dan lebih kaget dari yang pertama tadi. Serta merta dia bersujud mencium tanah seraya berucap "Terima kasih Tuhan, Ampunilah saya....Ampuni saya ya Tuhan..maafkanlah saya yang telah berfikiran buruk tentang kebesaranMU". Dia membayangkan bagaimana jika bunga cemara itu benar-benar seperti durian, sudah menjadi apa bentuk kepalanya.


Dalam hitungan detik sikap seseorang bisa berubah 180 derajat dari menginginkannya menjadi membencinya, dari jahat menjadi baik dan sebagainya. Itu akibat dari kita yang belum menemukan hakekat dari sebuah fakta tetapi sudah menarik kesimpulan, kadang kala sangat begitu yakin dengan kesimpulannya itu dan semua pendapat yang tidak sesuai dengan kesimpulannya itu adalah salah. "Everything is possible" .. semua hal itu memungkinkan. Seperti penggembala tadi yang dia sangat terpesona dengan kamahsyuran buah durian, sehingga mermehkan bunga cemara dan yang lebih parah lagi bahkan meragukan kebesaran Tuhan.


Mari kita berusahalah mencari hakekat, bukan hanya sekedar fakta yang terlihat. Butuh ketekunan dan banyak latihan agar kita dapat menemukan suatu hakekat secara cepat.

My Blog List

  • Laughing before it’s illegal - [image: laugh]Don’t be afraid to laugh. Laugh not make you look like a fool or make your authority will go down if you have appropriate reasons. But you ...
    15 years ago
  • TRiMaKaSiH CiNTa - *Dan bila aku berdiri* *Tegar sampai hari ini* *Bukan karena kuat dan hebatku* *Semua karena cinta* *Semua karena cinta* *Tak mampu diriku* *dapat berdiri t...
    15 years ago