Etiquetas

Perjuangan Seorang Ibu
8:00 PM | Author: Mr.Xu

 

18 Maret 2008…… (07:30)

Pagi ini istriku sudah berpesan, “mas,.. nanti kalau ada telepon dari rumah langsung pulang ya.!”. Aku hanya mengangguk sambil memegangi perut istriku yang sudah semakin menggunung. Kulihat mukanya masih saja tersenyum meskipun sekali-kali giginya dirapatkan kuat-kuat karena menahan rasa sakit, dan kalau kebetulan aku berada disebelahnya maka lengankulah yang menjadi sasarannya. Entah sudah berapa banyak bekas merah di lenganku sisa-sisa cengkraman istriku, tetapi itu tidak seberapa dibandingkan rasa sakit yang dirasakan istriku 

saat itu. Hanya dengan cara itulah mungkin aku bisa ikut merasakan penderitaan yang dialaminya. Meskipun aku yakin dengan cara itu pula rasa sakitnyapun tidak akan berkurang.

 Tetapi setidaknya dia merasa aman karena ada sang suami berada di sampingnya.  Hampir saja aku membatalkan niatku untuk berangkat ke kantor kalau saja istriku tidak memaksaku untuk tetap berangkat.

Setelah aku membuka ruangan kerjaku, aku kembali ke luar menuju tempat dimana aku biasanya bersantai sambil menghisap rokok, menyesuaikan diri kembali dengan situasi kantor, membuat rencana-rencana kerja dalam otakku dan melepaskan pengaruh suasana rumah untuk sementara. Kemudian setelah habis satu batang, aku kembali ke ruangan kerjaku dan mulai 

menyalakan PC di meja kerjaku.

Baru saja logo “WINDOWS XP” muncul di layar monitor, HP-ku sudah meraung-raung. Aku lihat di layar HP-ku tulisan “RUMAH”, aku buka dan langsung aku dengar suara istriku “Mas,

 .pulang sekarang!” kemudian hubungan telepon langsung diputus. Aku sedikit panik, kemudian PC aku “Shutdown” dan aku bergegas menuju tempat parkir untuk mengambil motorku. Sepanjang perjalanan menuju tempat parkir, aku baru tersadar, jika aku mengendarai motor dalam keadaan panik seperti itu bisa-bisa yang masuk rumah sakit bukan hanya istriku, tetapi aku juga. Maka aku menarik nafas dalam-dalam, aku tahan nafasku sebentar, lalu aku hembuskan berlahan-lahan… aku mulai merasa sedikit tenang.

18 Maret 2008…… (09:30)

Sesampai di rumah, aku lihat istriku sudah berpakaian rapih dan menghadangku di pintu, “Kita

 periksa aja yok sekarang..!”. Rencananya memang nanti malam, sepulang ak

u kerja kami akan mengunjungi bidan di tempat biasanya istriku memeriksakan kandungan. 

Menurut perkiraan bidan, kemungkinan minggu depan istriku sudah melahirkan. Tetapi semenjak semal

am rasa sakit itu, semakin sering dirasakan oleh istriku, mungkin pagi ini rasa sakit itu sudah

 tidak mampu lagi dia tahan, sehingga dia mengajak untuk meme

riksakan kandungannya sekarang.

18 Maret 2008…… (18:30)

Rasa sakit itu kelihatannya semakin menjadi-jadi, setidaknya itulah yang aku amati dari raut muka istriku. Matanya terpejam, bibir menyeringai, dan gigi

 dikatupkan rapat-rapat serta tangan kanannya mencengkeram lengan kiriku kuat-kuat. Aku memang meminta tangan kiriku saja yang kali ini dijadikan sasaran, karena tangan kananku sudah mulai terasa ngilu dan lebam. Keringat dingin mulai berhamburan, genaplah sudah guratan bekas cengkraman istriku bertambah satu menjadi tidak terhingga jumlahnya. Aku bertambah khawatir, lalu aku putuskan untuk memanggil seorang perawat untuk memeriksanya.


Benar seperti dugaanku, ternyata memang sudah saatnya istriku untuk melahirkan. Lalu aku mengangkat istriku ke kursi roda dan selanjutnya didorong oleh perawat  dari ruang perawatan menuju ruang melahirkan. Untungnya aku masih diperbolehkan masuk. Kuku-kuku tangan kanan istriku masih saja ditancapkan kuat-kuat pada lengan kiriku. Aku sudah tidak perduli, karena aku justru lebih kasihan lagi melihat kondisi istriku yang semakin mengerang-erang kesakitan. Dengan bantuan beberapa orang perawat aku angkat istriku dan aku baringkan di tempat tidur. Setidaknya ada 3 orang perawat dan seorang bidan yang sedang bersiap-siap menangani prosesi kelahiran.

Banyak sekali cairan berceceran di tempat tidur yang sudah dilapisi alas plastik. Ternyata air ketubannya sudah mulai keluar, saat itulah baru benar-benar dimulai pertaru

ngan hidup dan mati. Wajahnya sudah carut marut tidak karuan, meskipun guratan-guratan kecantikannya masih tetap ada. Laksana seorang gladiator yang sedang bertarung mempertahankan hidup, segenap tenaga ia curahkan. Bulir-bulir keringat semakin mengalir deras dari seluruh permukaan kulitnya. Dia merasakan seperti ada bagian dari tubuhnya yang mendesak-desak ingin keluar. Jemari tangan kirinya kini berganti aku genggam, tangan kanannya meremas pelapis tempat tidur sebagai tumpuan. Akhirnya setelah melalui tiga kali jeritan keras, bertepatan dengan berkumandangnya suara adzan “Isya” dari masjid sebelah, akupun membacakan adzan tepat di telinga kanan anakku. Aku lirik ibunya sudah mulai bernafas teratur, mukanya pucat dan basah oleh keringat. Sekarang aku sudah bisa bernafas lega. Aku pandangi terus wajah istriku yang sedikit mulai menyunggingkan senyum, aku cium keningnya perlahan dan aku bisikkan ditelinganya, “anak kita laki-laki, sehat, dan normal”, “terima kasih sayang…”. Lalu aku tinggalkan istriku dan anakku karena mereka harus menjalani perawatan pasca kelahiran.

Kubuka pintu ruangan melahirkan perlahan dan menutupnya kembali. Saat aku berbalik, aku lihat wajah-wajah adik kandung dan iparku semua menatapku dengan mimik muka yang seperti bertuliskan berubu-ribu pertanyaan menunggu kata-kata yang akan aku lontarkan. “Keponakan kalian lahir dengan selamat, laki-laki, normal”. “Alhamdulillah….” begitulah kata-kata yang hampir keluar bersamaan dari mulut mereka.

Aku kemudian berjalan mencari tempat yang sepi di ujung ruang tunggu. Aku hempaskan tubuhku ke kursi ruang tunggu sambil aku hembuskan nafas kuat-kuat. Aku memanjatkan syukur kepada Tuhan, lalu aku termenung memikirkan peristiwa yang baru saja terjadi.

Aku teringat ibuku, beginilah mungkin yang ibuku alami pada saat beliau melahirkanku. 

Penuh perjuangan, bergelimang rasa sakit, dan harus berjuang hidup dan mati agar mampu menghadirkanku di dunia ini. Setimpalkah balasanku selama ini dengan apa yang telah diperjuangkan oleh ibuku. Apakah aku sudah memenuhi harapan-harapannya yang menjadikannya alasan untuk melahirkanku dan merawatku. Tetapi aku yakin, apapun yang telah aku lakukan ibuku akan selalu dengan ikhlas menerimanya. Karena ibuku melahirkanku dengan tanpa pamrih. Karena tubuhku adalah bagian dari tubuhnya yang telah terlepas.

Terima kasih Tuhan,

Engkau telah tambahkan lagi nikmatMu kepadaku. Berikanlah aku kekuatan untuk mampu menjaga amanatMu. Berikanlah aku petunjukMu agar aku dapat merawat titipanMu.

Terima kasih istriku,

Karena seperti ibuku telah mengahdirkanku dan merawatku didunia ini, engkaupun akan merawat anak kita tanpa pamrih dan penuh kasih sayang. Aku yakin itu ….

This entry was posted on 8:00 PM and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

3 comments:

On 1/21/2009 10:09:00 PM , WiDHie said...

...Tangan halus dan suci, tlah mengangkat diri ini, jiwa raga dan seluruh hidup..rela dia berikan.

Oh..bunda ada dan tiada dirimu kan selalu ada di dalam hatiku...

 
On 1/22/2009 01:39:00 AM , Anonymous said...

Kalau bunda tiada, bagaimana dirimu masih tetap ada ? Lalu kalau bunda tiada yang ada dihatimu itu apa?...ha ha...lagu itu kayaknya perlu dikoreksi nih..(salam red.)

 
On 1/28/2009 07:00:00 PM , WiDHie said...

mbak Melly, ada yang mau koreksi lirik lagunya nih...

 

My Blog List

  • Laughing before it’s illegal - [image: laugh]Don’t be afraid to laugh. Laugh not make you look like a fool or make your authority will go down if you have appropriate reasons. But you ...
    15 years ago
  • TRiMaKaSiH CiNTa - *Dan bila aku berdiri* *Tegar sampai hari ini* *Bukan karena kuat dan hebatku* *Semua karena cinta* *Semua karena cinta* *Tak mampu diriku* *dapat berdiri t...
    15 years ago