Etiquetas

PENCARIAN
8:38 AM | Author: Mr.Xu

 

Dalam pencarian aku telah mengabaikanMu,
dalam kehilangan aku telah melupakanMu,
bahkan ketika semua keinginan kemudian aku dapatkan,
aku tetap merasa hilang.

Mengapa aku lebih suka bersusah payah,
padahal untuk bersusah pun tidaklah mudah,
meski semua kesulitan bisa dimudahkan,
walaupun setiap kemudahan bisa didapatkan,
karena segala yang bisa aku dapatkan sumbernya hanyalah satu,
Dialah sumber dari segala sumber,
Dialah yang berada di ujung dari semua perhentian,
Dialah awal dari segala permulaan.

Mengapa aku tidak mencari katalog sebelum aku mencari buku,
Mengapa harus mencari "Arjuna" jika Ki Manteb sudah bisa menggantikannya,
Bagaimana aku mendapatkan ikan kakap jika aku tidak menemukan laut,
Karena jika aku bisa menemukan laut,
mungkin tidak hanya ikan kakap yang aku dapat,
tetapi bisa saja harta karun atau peninggalan bajak laut.

Seharusnya aku mencariNya, maka aku akan menemukan semuanya.
Seharusnya aku mencari cahayaNya, maka aku akan melihat segalanya,
bahkan meski bersembunyi di dalam kegelapan sekalipun,
aku akan mendapatkannya.

Edisi: Mencari Cahaya Ilahi.

MAHA BESAR
5:13 PM | Author: Mr.Xu

 

Allahu Akbar – Allah Maha Besar. Memahami Kebesaran Allah bisa dimulai dengan memahami pengertian dari kata “Besar” dan kata “Kecil”.  Besar dan Kecil hanyalah untuk menggambarkan suatu ukuran, dan sifatnya pun masih bersifat kualitatif. Dan selama itu disebut kualitatif, maka ukuran itu masih bersifat relatif. Pengukuran itu sendiri pada hakekatnya adalah “membandingkan”. Sesuatu disebut “besar” karena ada yang disebut lebih “kecil”, sesuatu disebut “kaya” karena ada yang disebut lebih “miskin”, sesuatu disebut “pandai” karena ada yang disebut “pandir”, ada sesuatu yang “benar” karena ada sesuatu yang disebut “salah”, dan seterusnya.

Selama kita masih disebut makhluk, maka kita tidak akan terlepas dari dunia yang bersifat “relatif”. Kita tidak mempunyai hak terhadap sesuatu yang disebut “mutlak”. Mutlak, kepastian, dan keabadian hanyalah milik “Sang Kholik” dan hanya hak dari Sang Pencipta Makhluk. Sedangkan manusia sebagai “Abdul Kholik” (hamba Sang Pencipta) hanya berhak atas “Kenisbian” dan hanya berhak atas segala sesuatu yang bersifat relatif.

Hanya atas “Rakhman”-Nyalah, manusia diberi “akal” agar bisa mengetahui segala Kebesaran Allah sehingga mampu memahami tugas pokoknya sebagai mahluk, yaitu hanya untuk “beribadah” kepadaNya dan selalu bersabar mengharap “Kerelaan”-Nya.

Agar “akal” kita bisa lebih terbuka di dalam memahami Kebesaran Allah, ada baiknya saya akan mencoba mengutip apa yang dituliskan oleh Abu Sungkan dalam ebook-nya yang bertajuk “Shalat Khusuk itu Mudah”. Beliau begitu sangat indah mengilustrasikan bagaimana kita sebenarnya begitu sangat kecil bahkan mungkin bisa dianggap tidak ada jika dibandingkan dengan kebesaran Allah.

Andaikan bumi ini sebesar buah jeruk, maka manusia tak lebih besar dari debu-debu halus atau sel kulit. Kita naikkan skala perbandingannya. Jika matahari sebesar jeruk, maka bumi kira-kira hanya sebesar butiran nasi. Manusia, mungkin tak lebih besar dari molekul yang membentuk kulit jeruk. Kita naikkan lagi skala perbandingannya. Jika galaksi Bima Sakti memiliki diameter sebesar jeruk, maka matahari hanyalah sebesar debu. Bumi mungkin sebesar sel-sel kulit jeruk. Manusia hanyalah seperti elektron-elektron. Kita naikkan lagi skala perbandingannya lebih jauh lagi. Jika alam semesta ini yang kita kenal sekarang ini sebesar ruang keluarga Anda, maka galaksi hanya sebesar debu atau pasir. Matahari hanyalah seperti bakteri atau virus yang berterbangan di udara. Bumi mungkin hanyalah sebesar atom oksigen. Manusia? Masihkah manusia bisa disebut sebagai ada? Kita tidak ada apa-apanya di alam semesta ini, sementara Allah Sang Pencipta lebih besar dari alam semesta itu sendiri”.

Maka jika kita mau menyadari, kita seharusnya malu jika kita masih berjubah kesombongan dalam keseharian kita. Karena sebenarnya keberadaan kita hanyalah keberadaan relatif semata.

 

edisi: “Mencari Cahaya Ilahi”

PERPISAHAN
10:13 AM | Author: Mr.Xu

Banyak penulis menganalogikan kalau perjumpaan dan perpisahan itu bagiakan 2 mata yang saling bersisihan pada sekeping uang logam. Keduanya tidak bisa saling dipisahkan, jika ada "perjumpaan" pasti pada akhirnya akan bertemu dengan "perpisahan". Tetapi bagi saya,yang terbiasa berkutat dengan sebuah skema, perjumpaan dan perpisahan sebenarnya bukan 2 hal yang dapat berdiri sendiri. Keduanya lebih mirip sebuah garis, dimana perjumpaan berada di salah satu ujung dan perpisahan di ujung lainnya. Sedangkan di antara keduanya sebenarnya terselip banyak titik-titik peristiwa.

Jarak antara titik-titik pada kedua ujung garis bisa dekat bisa pula jauh. Kalaupun jaraknya sudah ditetapkan, panjang garis bisa juga bermacam-macam bisa pendek jika garis berupa garis lurus, bisa juga panjang jika garis berupa garis yang berkelok-kelok. Saya cenderung berpendapat bahwa pertemuan dan perpisahan sekalipun sudah ditetapkan, keduanya mesih mempunyai banyak pilihan. Keduanya bukan obyek masif yang kebal terhadap suatu perubahan. Tetapi keduanya adalah media lentur yang dapat kita isi apa saja sesuai keinginan kita.

Tuhan mempertemukan kita tentu bukan karena tidak bertujuan. Dalam setiap kejadian, seperti halnya perjumpaan, pasti masing-masing mempunyai hikmah. Begitu pula halnya dengan perpisahan. Perpisahan pada dasarnya terjadi karena masing-masing individu memiliki akselerasi yang berbeda terhadap setiap perubahan. Ibarat mobil formula yang sedang berlaga dalam sebuah lintasan, meskipun berawal pada garis start yang sama, tetapi seiring dengan berjalannya waktu pada suatu saat masing-masing mobil akan memiliki jarak relatif yang terus berubah. Apabila tingkat akselerasi antara masing-masing mobil seimbang, maka hingga garis finish semua peserta turnamen akan selalu bersama-sama. Lain halnya apabila salah satu mobil memiliki akselerasi yang di atas rata-rata, maka pada garis akhir mobil tersebut akan meninggalkan mobil-mobil lainnya. KOndisi seperti inilah menurut saya yang dinamakan perpisahan.

Pernikahan dan rangkaian peristiwa yang menyertainya, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan suatu kompetisi balap mobil formula. Kita dan pasangan kita adalah suatu "team" yang seharusnya saling mendukung untuk kemudian mencapai garis finis secara bersama-sama. Permasalahannya adalah bahwa dalam suatu "team", kadangkala setiap anggota tidak memiliki kemampuan yang seimbang. Sehingga sebuah "team" sangat berpotensi untuk terjadinya sebuah perpisahan. Tinggal bagaimana masing-masing anggota mempunyai komitmen yang sama untuk tetap meraih kemenangan bersama.

Jika komitmen kebersamaan sudah menjadi tujuan bersama, maka sekalipun sang suami memiliki akselerasi yang lebih tinggi, dia akan berusaha menarik sang istri dan di depan terus berusaha membuka jalan agar semua anggota team dapat melaju lebih kencang tanpa hambatan. Sebaliknya apabila sang istri memiliki akselerasi yang lebih tinggi, maka dia akan mendorong sang suami agar bisa maju lebih cepat dan berusaha mengamankan posisi sang suami didepan dari segala ancaman yang datang dari "team" lainnya. Idealnya suami dan istri memiliki tingkat akselerasi yang seimbang sehingga keduanya bisa saling mendukung secara lebih mudah.

Secara umum kita dapat mengatakan bahwa suatu turnamen tidaklah hanya terdiri dari satu sirkuit saja. Perpisahan pada suatu sirkuit bukanlah akhir dari segalanya, masih ada sirkuit-surkuit lain yang dapat kita gunakan untuk mengejar ketertinggalan. Yang terpenting adalah jika pun perpisahan pada akhirnya tidak mungkin dihindari, maka kita harus mampu memberdayakan sebuah perpisahan agar dapat menjadi sebuah pelajaran yang sangat berharga.

Air Mengalir Sampai Jauh ….
2:28 PM | Author: Mr.Xu

Siang itu benar-benar bolong, ketika hatiku yang sedang berkeringat tiba-tiba saja kering. Lalu aku mendengar kesejukan yang mengalir bersama suara riak air yang jatuh secara bebas dari sebuah pancuran bambu. Aku termangu, mataku seakan susah untuk kuajak selingkuh, dia begitu setia memandangi bulir-bulir air yang melompat-lompat liar di atas permukaan kolam di bawah pancuran.

Mengapa kemudian bulir air lebih suka jatuh ke kolam dari pada terbang melayang ke atas bergabung dengan saudara jauh mereka “si-Awan”. Apakah itu karena Naluri ? Apakah air sanggup untuk memiliki naluri ? Mungkin….?!? Tidak ada yang tidak mungkin bagi “Pencipta Alam” dan “Penguasa Kehidupan”. Itulah hikmah yang bertajuk “Keseimbangan”. Bahkan Allah dalam karunianya berupa kitab pedoman (Al-Quran) tertulis sebuah ayat : “ Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? “ (QS: Al-Mulk (67):3).

Di dalam ketentuan alam yang di tanganNyalah semua dikendalikan, “air akan selalu mengalir dari tempat yang tinggi menuju tempat yang lebih rendah". Lalu hikmah apa yang tersirat dalam jangkauan ketentuan ini ? Hati… Adakah hikmah yang dengan mudah mengalir ke dalam hati yang sombong, yang penuh dengan ketinggian hati? Adakah kita rela membagikan ilmu kita, harta kita kepada sesama yang jelas-jelas mulutnya mencibir kita atau tatapannya memandang kita dengan sebelah mata ?

Hikmah dan pengetahuan Allah yang persediaanya berlimpah di alam semesta, akan secara spontan kemudian mengalir ke dalam diri kita apabila kita bisa menjaga hati kita untuk tidak merasa lebih tinggi dari yang seharusnya.

My Blog List

  • Laughing before it’s illegal - [image: laugh]Don’t be afraid to laugh. Laugh not make you look like a fool or make your authority will go down if you have appropriate reasons. But you ...
    15 years ago
  • TRiMaKaSiH CiNTa - *Dan bila aku berdiri* *Tegar sampai hari ini* *Bukan karena kuat dan hebatku* *Semua karena cinta* *Semua karena cinta* *Tak mampu diriku* *dapat berdiri t...
    15 years ago