Etiquetas

Bis antar kota itu terus saja melaju dengan tenang , dengan penuh kepastian dia berjalan melintasi jalur Pantura melewati kota demi kota seakan tiada hambatan. Kontras sekali dengan isi kepalaku yang masih penuh dengan gejolak dan perasaan hati yang dipenuhi dengan dilema yang masih mendera tanpa kepastian. Sepanjang perjalanan Semarang – Bandung ,yang biasanya ditempuh dalam waktu 10 jam, kini terasa lama seperti perjalanan yang menempuh waktu hingga berbulan-bulan. Udara dalam Bis antar kota yang dingin karena AC, serasa aku bayangkan berada dalam sebuah teater sinema. Di hadapanku seakan-akan terpampang sebuah layar lebar yang menampilkan penggalan-penggalan kisah antara aku dan Bunga. Kisah kehidupan yang diawali dari perkenalan dalam sebuah Bis antar kota, begitu jelas detil bayangan-bayangan itu bermain-main di kepalaku. Sesekali cerita beralih ke sosok lain yang begitu sangat misterius, yaitu sosok sang Dewi Lestari yang akhir-akhir ini selalu mengisi langit-langit kamar tidurku.

Aku menatap kosong ke arah sisi jendela, tetapi seakan tidak mampu menembus kaca. Yang tampil dihadapanku bukan lagi kehidupan nyata yang terjadi di balik kaca jendela itu, tetapi bayangan sosok Bunga yang begitu sempurna dan sosok Dewi Lestari yang sangat misterius. Mereka berdua silih berganti bermain-main dalam ruang imajinasi fikiranku. Sampai saat-saat terakhir aku menginjakkan kaki, menaiki bis antar kota yang sedang aku tumpangi ini, aku masih belum mampu mengambil sebuah keputusan yang pasti.

Aku bukanlah tipe lelaki yang mampu berlabuh dalam dua hati, dengan tenang dan tanpa merasa bersalah, maka apapun yang terjadi nanti, itulah yang mungkin pilihan yang terbaik dalam hidupku. Aku tidak mau seseorang akhirnya terluka lebih dalam lagi karena penghianatanku. Aku sendiri tidak habis fikir kenapa sosok Dewi Lestari yang baru aku kenal selama tiga bulan ini, mampu menggeser kelembutan dan kesetiaan Bunga yang begitu sempurna. Bahkan meskipun aku sudah sering berjalan dengan Dewi Lestari, hingga saat itu aku belum berani mengungkapkan persaanku kepadanya. Sosok Dewi yang jinak-jinak merpati dan misterius itu masih menyisakan keraguanku untuk berterus terang mengungkapkan isi hatiku. Di tambah lagi rasa bersalah yang selalu menggema atas penghianatan hatiku kepada Bunga.

Di antara kebimbangan yang masih kurasakan, sesekali aku masih berharap pertemuanku kali ini dengan Bunga, mampu sedikit-demi sedikit menggeser kembali posisi Dewi Lestari dalam hatiku. Aku masih berharap bahwa kehadiran Dewi Lestari dalam relung hatiku hanya disebabkan oleh kehausanku akan aura cinta kasih yang tidak lagi aku dapatkan karena jarak yang memisahkan aku dan Bunga. Akhirnya, meskipun aku belum menentukan pilihan, aku berketetapan hati, apapun yang terjadi, jika Tuhan masih menghendaki kehadiranku dalam kehidupan Bunga, maka sosok Dewi Lestari akan terkikis dengan sendirinya ketika aku telah berjumpa dengan Bunga di Bandung nanti.

Hatiku mulai sedikit agak tenang, dan karena badan dan fikiran yang terlalu lelah, pada saat Bis memasuki kota Sumedang, tanpa terasa aku mulai terlelap. Aku mulai bangun kembali ketika perjalanan mulai masuk ke kota Bandung dan bis mulai mendekati terminal Cicaheum. Aku turun dari bis dan berjalan ke arah angkutan kota dengan jurusan yang menuju arah tempat kos Bunga. Bunga sudah tidak lagi tinggal di asrama, tetapi tempat kosnya masih berada dekat di sekitar kampusnya. Bunga tidak lagi sekamar berdua dengan Ratna, tetapi dia lebih memilih sendiri agar lebih “privacy” katanya. Ratna masih tetap berada dalam satu kos yang sama, tetapi dalam kamar yang berbeda.

“Assalamualaikum…!” aku menyapa dan menghampiri beberapa penghuni yang sedang duduk-duduk di teras rumah kos-kosan itu.

“Bunga ada mbak ..?” tanyaku pada salah seorang penghuni yang kebetulan pertama kali melihatku.

Sebelum pertanyaanku sempat dijawab, tiba –tiba saja sosok Bunga muncul dari pintu sebuah kamar yang kebetulan menghadap ke arah teras itu . Tangan kanannya mendekap mulutnya sendiri, dengan mata yang berkaca-kaca . Dia tergopoh-gopoh menghampiriku dan tanganya yang lembut menggenggam tanganku serta membimbingku berjalan ke arah kamarnya.

“Masuk mas…”, dia mempersilahkan aku memasuki kamarnya. Pintu kamar dibiarkannya terbuka, karena dia tidak ingin teman-temanya, sesama penghuni kos berfikiran yang macam-macam atas kehadiranku di kamar itu.

“Tas nya taruh disitu saja mas..” dia menunjukkan suatu tempat, disisi tempat tidurnya dan memintaku meletakkan tas ransel yang aku bawa. Dia berjalan ke arah meja di kamarnya dan membuatkanku secangkir kopi. Bunga memang sangat tahu kalau aku adalah seorang pecandu kopi berat. Dia sendiri sebenarnya tidak suka minum kopi, tetapi entah mengapa setiap aku datang mengunjunginya dia selalu saja siap membuatkan aku secangkir kopi manis kesukaanku.

“Silahkan mas diminum dulu…” dia menghampiriku yang sudah duduk di karpet di sebelah tempat tidurnya dan meletakkan secangkir kopi itu tepat dihadapanku.

“Oh iya, terima kasih dik..” jawabku lirih, sambil terus memandanginya. Bunga terlihat lebih kurus, tetapi terlihat lebih dewasa dan lebih cantik dibandingkan satu tahun yang lalu, dimana aku terakhir kali menemuinya. Bibir tipisnya yang indah dan dilapisi pewarna bibir yang lembut kembali tersenyum merekah dengan mata indah yang masih tetap berkaca-kaca . Aku menggeser dudukku dan mendekatinya, kuraih pundaknya dan kuberanikan diri untuk memeluknya. Bunga diam saja dan membiarkan aku melepaskan rasa rindu yang selama masih tersisa. Oh Tuhan, .. apakah aku tega menceritakan semuanya kepada dia. Makhluk apa aku ini yang tega menyakiti hatinya yang begitu tulus dan setia. Tiba-tiba saja bayangan sosok Dewi Lestari kembali melintas di kepalaku. Aku melepaskan pelukanku, dan kembali duduk bergeser menjauhi Bunga.

“Ada apa mas…? Mas Tomy kok kelihatan aneh ?“, Bunga sepertinya mulai merasakan ada sesuatu yang menganjal dalam hatiku. Dia menatapku dengan ekspresi wajah yang seolah-olah akan melontarkan beribu-ribu pertanyaan yang akan begitu menghujam ke arahku.

Aku menghela nafas agak dalam dan sedikit-demi sedikit mulai tertunduk , aku tidak lagi berani menatap matanya yang bening dan indah itu. Beban berat seakan-akan kembali menimpa kepalaku.

“Apakah Dewi adikku belum cerita sama dik Bunga..?” aku bertanya menyelidik dan kembali menatap wajahnya yang lembut itu. Bunga tetap membalas tatapanku dan tetap terdiam. Kepalanya menggeleng, memberikan isyarat bahwa Dewi adikku memang belum bercerita mengenai kondisiku yang saat ini sudah terlalu dekat dengan Dewi Lestari teman sekantorku. Semakin berat rasanya aku untuk mulai berterus terang, karena berarti Bunga sama sakali belum siap untuk menerima pengakuanku yang pasti sangat menyakitkan.

Senyum Bunga saat itu sudah mulai samar-samar terlihat, berganti dengan wajah yang mulai menampakkan rasa kekhawatiran.

“Ceritakan saja mas.., bukankah selama ini mas Tomy selalu bercerita kepada Bunga, kalau sedang menghadapi masalah..?”, Bunga mencoba kembali menata hatinya dan berusaha tegar. Aku kembali menghela nafas panjang dan tertunduk, tetapi aku tetap terdiam. Mulutku serasa terkunci dan berat sekali untuk bersuara, bahkan untuk sekedar mengucapkan sebuah kata. Kali ini Bunga yang mendekat ke arahku, tanganku digenggamnya dengan lembut.

“Katakan saja mas..mudah-mudahan Bunga siap mendengarnya..”. Aku mengangkat wajahku dan kembali menatap bunga. Aku kumpulkan sisa-sisa keberanianku dan membalas genggaman tangannya.

“Mas,.. mas Tomy mencintai wanita lain, teman sekantor mas” , akhirnya terlontar juga pengakuan dari mulutku. Aku masih tetap menatap Bunga dengan ekspresi wajah seperti orang pesakitan yang sedang menunggu sebuah keputusan pengadilan. Ekspresi wajah Bunga sedikit tersentak, tetapi kembali menampakkan wajahnya yang tegar. Tangannya masih tetap mengenggamku tidak berkurang sedikitpun.

“Sebenarnya Bunga sudah sedikit menduga, karena beberapa bulan ini, mas sudah tidak pernah lagi membalas suratku”, “Surat dik Dewi, juga terasa tidak seterbuka seperti dulu”. “Tetapi Bunga berusaha untuk selalu menepiskan semua pikiran-pikiran jelek tentang mas, Bunga hanya tetap selalu berdoa agar Tuhan selalu memberikan yang terbaik buat Bunga”. Jawabannya begitu tenang dan pasrah, membuat rasa bersalah semakin menjadi-jadi menyiksaku. Kami terdiam beberapa saat, tangannya yang masih aku genggam mulai terasa dingin dan berkeringat.

“Tetapi, apa mas Tomy sudah yakin untuk mencintai dia ?.”, “Tidak ada lagi rasa cinta mas kepada Bunga?” pertanyaan itu kembali dilontarkan Bunga untuk menguji kesungguhan pengakuanku. Meskipun sudah sedikit menduga, tetapi dia belum merasa yakin kalau aku benar-benar mencintai Dewi lestari, teman sekantorku itu.

“Mas sebenarnya masih sayang sama bunga”,

“tetapi mas tidak mau menghianati Bunga”.

“Lebih baik Bunga merasakan rasa sakit itu sekarang, daripada nanti-nanti setelah semua yang tidak kita harapkan terjadi”.

“Ma’afkan mas ya dik..!”

Bunga terdiam dan mengangguk, senyumnya kembali tersungging tetapi kali ini terasa penuh dengan kegetiran dan keterpaksaan. Hatinya terluka, tetapi tidak mau pria yang disayanginya selalu diliputi rasa bersalah. Begitulah selalu hubunganku dengan Bunga selama ini, tidak pernah ada amarah dan emosi yang meledak-ledak. Yang ada selalu keteduhan dan saling mengalah. Kali ini, terpaksa Bungalah yang harus mengalah, melepaskan pria yang dikasihinya mencintai wanita lain yang sama sekali tidak kenalnya.

Malam itu Bunga memintaku untuk menginap di kamarnya. Untungnya induk semang kos-kosan Bunga tidak tinggal serumah. Teman-teman kosnya pun hanya diam saja, dan mungkin memaklumi perasaan sepasang kekasih yang sedang di landa rindu. Sepanjang malam itu Bunga tertidur dalam pelukanku, dia seakan tidak mau melepaskanku. Aku tidak bisa tertidur, tetapi anehnya sepanjang malam itu justru sosok Dewi Lestari yang selalu berputar-putar dalam otakku.

Pagi harinya, aku bersiap untuk pulang kembali ke Semarang. Bunga memutuskan untuk ikut mengantarku dan sekalian pulang ke rumah orang tuanya di Cerebon. Sepanjang jalan dalam Bis antar kota, kami kembali mengenang masa-masa saat kami berkenalan dulu. Kepalanya terus saja bersandar di pundakku, tangan sebelah kiriku selalu dipeluknya dan genggaman tangannya tidak mau melepaskan sebelah tanganku yang dipeluknya itu. Mataku merah karena semalaman tidak tidur, sedangkan mata Bunga terlihat sembab karena semalaman menangis dalam pelukanku.

Bunga memintaku untuk mampir ke rumahnya di Cirebon, tetapi aku menolaknya dengan halus. Aku benar-benar menjadi seorang yang pengecut, karena sebanarnya aku menolak mampir ke rumah bunga karena aku tidak berani berhadapan dengan Ibu dan kakak-kakaknya.

Begitulah sepenggal kisah di bis antar kota yang pernah mewarnai rangkaian cerita kehidupanku. Kisah itu berawal dalam sebuah bis antar kota dan berkahir pula disana. Selamat tinggal Bungaku tersayang, semoga kamu mendapatkan pria yang lebih baik dariku. Terima kasih, karena engkau sempat mewarnai hari-hariku yang indah selama bersamamu.

Mununggu Cinta dan Bis Kota ..

Sepanjang masa aku selalu mengingat kisah itu. Aku juga teringat dengan sebuah Blog yang menceritakan sebuah analogi bahwa menunggu cinta adalah sama seperti sedang menunggu datangnya bis kota. Ketika sebuah bis kota datang, kita seringkali enggan mendekatinya meskipun bis itu menuju jurusan yang sama dengan tujuan kita. Karena memang bis itu penuh, lagi pula tidak ber AC. Tetapi ketika bis selanjutnya datang, masih kosong dan ber-AC, bis tersebut justru tidak mau berhenti untuk kita, bahkan sang kondektur pun seolah enggan melihat kita. Dan akhirnya, ketika waktu sudah semakin mendesak, kita bersedia naik pada bis berikutnya, meskipun bis itu sesak dan tidak ber-AC. Di tengah perjalanan tiba-tiba saja kita merasakan bahwa bis yang kita tumpangi itu adalah bis dengan jurusan yang berbeda dengan tujuan kita.

Begitu pulalah kita, ketika sebuah cinta mendekati kita. Kita sering tak acuh dan mengabaikannya, hanya karena cinta itu tidak sesuai dengan kriteria kita. Kemudian kita melihat ada cinta lain yang begitu terlihat sempurna, akan tetapi justru cinta itu tidak berpihak kepada kita. Dia berlalu begitu saja tanpa sedikitpun menghiraukan kita. Dan pada saatnya kita terdesak oleh waktu, maka cinta apapun bentuknya dengan terpaksa kita terima. Celakanya cinta itu ternyata adalah bukan cintai yang sesuai dengan tujuan hidup kita. Pada akhirnya kita akan menyesal dan mengutuk diri kita sendiri, karena telah menyia-nyiakan kesempatan yang datang menghampiri kita. Tidak ada gading yang tak retak… begitulah sebuah pribahasa mengatakan. Tidak ada yang sempurna di dunia ini selain Tuhan, maka sambutlah cinta yang menghampirimu apapun keadaannya asalkan cinta itu mempunyai tujuan hidup yang sama dengan tujuan kita. Meskipun di tengah perjalanan kita ternyata tidak nyaman, toh kita masih bisa berteriak kiri…kiri…. Maka bis itu akan berhenti dan dengan rela akan melepaskan kita.

Aku adalah seorang yang mau menghampiri dan menaiki bis yang pertama aku temukan. Kalaupun bis itu masih kosong dan ber-AC serta memiliki tujuan yang sama pula dengan tujuanku, itu adalah suatu kebetulan. Akan tetapi di tengah perjalanan susananya yang nyaman, justru membuatku merasa terasing, maka kemudian akupun berteriak kepada sang kondektur..kiri…kiri…. Bis pun berhenti berlahan. Kemudian akupun tergesa-gesa turun, berlari-lari kecil mengejar bis lain yang lebih kecil meskipun bis itu tidak ber-AC.

Mungkin sikapku itu, termasuk sikap orang yang menganut paham anti kemapanan. Aku merasa terasing dalam lingkungan yang justru sangat teratur dan sempurna. Aku justru lebih memilih situasi yang lebih menantang dimana segala hal memang harus diperjuangkan. Entahlah sikapku ini wajar atau dinilai tidak normal. Tetapi aku adalah aku, aku bukan siapa-siapa, aku adalah orang yang selalu ingin menciptakan mimpi-mimpi baru, dan aku ingin bahwa mimpi-mimpiku itu adalah keadaanku yang sebenarnya di masa-masa yang sedang menantiku.

This entry was posted on 5:33 PM and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

1 comments:

On 12/22/2008 06:04:00 PM , WiDHie said...

Cinta bukan menemukan yang sempurna untukmu melainkan bagimana menemukan seseorang yang membantu menjadi dirimu sendiri dan membuatmu menjadi sempurna...

 

My Blog List

  • Laughing before it’s illegal - [image: laugh]Don’t be afraid to laugh. Laugh not make you look like a fool or make your authority will go down if you have appropriate reasons. But you ...
    15 years ago
  • TRiMaKaSiH CiNTa - *Dan bila aku berdiri* *Tegar sampai hari ini* *Bukan karena kuat dan hebatku* *Semua karena cinta* *Semua karena cinta* *Tak mampu diriku* *dapat berdiri t...
    15 years ago