Malam itu bulan sabit, bentuknya yang hanya seperdelapan bagian menampakkan wajah langit seolah seperti sedang memicingkan mata. Alam seakan sedang ikut mendengarkan debaran jantungku yang semakin tidak menentu. Lalu lalang kendaraan diseberang jalan seolah bergerak tanpa suara, semuanya serasa hening, ikut menunggu sebuah keputusan besar yang sesaat lagi akan aku dapatkan. Suasana di sekitarnya yang temaram membuat aku sukar sekali menebak-nebak akan kemana ekspresi wajah Bunga selanjutnya.
Secara berlahan aku melihat senyum Bunga mulai merekah....., Bunga mengangguk tanpa bersuara. Seolah tak percaya aku dekatkan lagi wajahku untuk menatap wajahnya lebih jelas. Matanya yang bening dan indah nampak berkaca-kaca, senyumnya tetap tersungging di wajahnya yang teduh dan merona. Spontan aku meraih tangannya dan menggengamnya. Saat itu seoalah ada bagian dari hatiku yang meledak bercerai berai, beban kekhawatiran yang tadi sempat menggumpal, kini terlepas begitu saja. Hingar-bingar lalulintas di seberang jalan, kini seakan kembali terdengar.
"Auw..! jangan keras-keras mas...", Bunga memekik sedikit agak kencang. Beberapa pasang mata seketika melihat kearah kami dengan ekspresi wajah yang bertanya-tanya..
"Maaf-maaf....", rupanya tanpa sadar aku telah menggenggam tangan Bunga dengan kencang.
Aku longgarkan genggamanku, dan kini beralih mengusap-usap punggung tangannya yang kesakitan. Berulang-ulang aku bisikkan kata maaf. Aku melirik ke sekelilingku dan aku lihat beberapa orang menggeleng-gelengkan kepala dan kembali berpaling ke kegiatannya semula. Senyum Bunga yang tadi sempat ter-jedah kini kembali merekah menebarkan pesonanya. Bunga membalas tatapanku seolah ingin kembali menguji keseriusanku. Sesat aku dan Bunga saling bertatapan, dengan kedua tangan tetap saling berggenggaman. Suara musik 'slow rock' yang sayup-sayup terdengar, seolah-olah berubah menjadi dentingan gitar lagu-lagu kenangan. Malam itu kembali menjadi malam yang teramat indah bagi diriku.
Aku memasuki babak baru dalam hidupku, masa dimana aku mulai merasakan cinta dengan seorang wanita yang sesungguhnya . Mungkin inilah saatnya aku mulai harus berfikiran dewasa. Hari-hari selanjutnya seakan hanya milik aku dan Bunga. Frekwensi pertemuanku dengan Bunga kini tidak hanya lagi setiap malam minggu. Kapanpun aku butuh teman untuk berbicara atau Bunga membutuhkan tempat 'curhat', kami selalu berusaha untuk berjumpa. Hanya saja kesibukanku menyelesaikan tugas akhirku dan kesibukan Bunga mengerjakan tugas-tugas kuliahnya masih tetap membuat kami tidak sertamerta leluasa untuk selalu bersama. Kami memang sepakat, apapun perkembangan hunbungan kami, kuliah tetap nomor satu. Latar belakang keluargaku yang berasal dari keluarga sederhana membuat hubunganku dengan bunga tetap bersahaja. Tidak ada acara jalan-jalan di 'mall' atau ketempat-tempat hiburan untuk berfoya-foya. Hanya sesekali, jika ada jedah kuliah, kami berjalan-jalan ke tempat-tempat wisata di sekitar kota Bandung, itu pun berombongan dengan teman-teman sekampus Bunga atau teman-teman satu kosku.
Waktu terus berlalu, Tugas Akhirku sudah berhasil aku selesaikan, dan hasilnya cukup memuaskan. Aku tinggal mununggu hari wisudaku. Masa tenggang menunggu waktu wisuda kebetulan berbarengan dengan liburan semester di kampus Bunga, sehingga aku memutuskan untuk mengajak Bunga pulang ke kampungku, berkenalan dengan keluargaku.
Perjalanan menuju ke kota kelahiranku memang melewati kota di mana Orang Tua Bunga tinggal. Kami memutuskan untuk mampir dulu ke rumah orang tua Bunga, disamping berkenalan dengan keluarganya, juga untuk meminta izin mengajak Bunga berkunjung ke kampung halamanku menemui orang tuaku. Bunga adalah anak bungsu dan perempuan satu-satunya, semua kakaknya adalah laki-laki, ayahnya sudah tiada sejak dia masih duduk di Bangku SMP.
Kami kemudian melanjutkan perjalanan ke rumah orang tuaku. Untunglah kedua orang tuaku bisa menerima Bunga dengan apa adanya. Terutama ibuku, maklum ibuku juga hanya mempunyai anak perempuan semata wayang, yaitu anak keduanya adikku Dewi. Bahkan mereka berdua, Dewi dan Bunga cepat sekali akrab, keduanya hampir sebaya. Hatiku benar-benar berbunga-bunga, karena ternyata semua anggota keluargaku bersedia menerima keberadaan Bunga. Bunga memang termasuk wanita yang mudah bergaul dan cepat sekali dapat menyesuaikan diri dengan keadaan keluargaku yang sederhana.
Kami tidak berlama-lama, karena Bunga harus mulai kembali mempersiapkan kuliahnya. Akhirnya kami berangkat kembali ke Bandung. Aku juga masih harus tetap berangkat ke kampus agar selalu mendapatkan informasi terbaru tentang program-program magang yang banyak ditawarkan oleh beberapa perusahaan besar. Mereka seringkali juga mengadakan sesi rekruitmen di kampus. Aku juga semakin sering mencari-cari iklan lowongan kerja di Koran. Sampai akhirnya hari Wisuda tiba. Bunga aku ajak mendampingiku saat wisuda. Dia begitu cantik dan tampak sempurna, posturnya yang tinggi semampai memang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan tinggi badanku. Tetapi dandananku yang lengkap dengan Jas dan topi wisuda, membuatku masih terlihat dapat mengimbanginya.
Hubunganku hari demi hari semakin terasa indah. Aku dan Bunga mulai melambungkan mimpi-mimpi kami berdua tentang kehidupan yang bahagia di masa depan. Kami berdua mempunyai karakter yang hampir serupa, yaitu sama-sama mudah mengalah. Sehingga selama masa kami berpacaran tidak pernah sekalipun kami bertengkar, seperti halnya yang sering terjadi pada pasangan-pasangan lainnya. Entahlah, ini suatu keadaan yang wajar atau tidak normal, yang jelas Bunga begitu menghormatiku sebagai pria, begitu pula aku begitu menyayanginya seperti aku menyayangi adik perempuan semata wayangku Dewi.
"Dik Bunga,...aku dapat kerja di Semarang".
"Kebetulan tempat kerjaku dekat dengan tempat Dewi kuliah di Semarang", aku melanjutkan tanpa menunggu tanggapan dari Bunga.
"Selamat ya mas..." suaranya begitu lirih dan datar. Aku merasakan ada sebuah perasaan yang sangat mengganjal dalam hatinya. Mungkin dia membayangkan hari-hari yang akan terasa sepi tanpa aku berada disisinya. Atau dia mungkin mulai merasakan firasat bahwa akan terjadi suatu perubahan yang besar dalam warna-warna kehidupannya di kemudian hari.
Tiba-tiba saja, Bunga berhambur ke arah dadaku dan memelukku dengan erat, sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya. Kami memang sudah menjadi kekasih selama lebih dari satu tahun, tetapi sejauh itu, kami hanya saling berpegangan tangan, entahlah mungkin karena dalam pandangan agama kami berpelukan antar lawan jenis adalah hal yang tabu untuk dilakukan. Akan tetapi pada saat itu, dengan sedikit agak ragu, aku mulai membalas pelukannya, dadaku terasa panas dan semakin berdebar-debar.
"Tapi mas Tomy nanti harus sering datang ke Bandung ya ..kalau ada cuti.!" , "Mas Tomy juga jangan males nanti membalas surat-surat Bunga". Bunga mulai merajuk dengan posisi masih berada dalam pelukanku.
"Iya..mas Janji...", jawabku untuk menenangkannya.
Seminggu kemudian aku berangkat ke Semarang. Bunga ikut mengantarkanku hingga kota Cirebon, sekaligus dia pulang ke rumah orang tuanya.
Sebagai karyawan baru, aku berusaha giat bekerja. Hampir enam bulan aku berada di Semarang dan menjalin cinta jarak jauh dengan Bunga. Hampir setiap minggu kami saling berbalas surat. Surat Bunga kepadaku selalu di alamatkan ke tempat kos adikku Dewi. Selain mengirim surat buatku, Bunga juga mengirim surat untuk Dewi. Nampaknya adikku dan Bunga sudah semakin dekat, mereka saling terbuka satu sama lain, saling menceritakan perasaan mereka dan masalah-masalah mereka. Aku sendiri semakin disibukkan dengan pekerjaan baruku. Aku sering ditugaskan keluar kota, hingga kadang-kadang aku harus berda di luar kota selama lebih dari dua minggu. Jadi semakin sering aku tidak bisa membalas surat Bunga secara tertib. Paling-paling aku menitip pesan ke Dewi kalau dia nanti membalas surat dari Bunga.
Pada suatu saat aku mendapatkan cuti pertamaku, aku berangkat ke Bandung. Aku mengajak adikku, karena Bunga meminta agar aku mengajak Dewi juga. Pada saat lain aku juga mengajak Dewi untuk mengunjungi Bunga yang sedang melakukan Kerja Praktek sebagai guru di Kota Solo. Kebetulan Solo tidak terlalu jauh dari Semarang, sehingga hampir setiap minggu aku datang mengunjunginya di Solo. Kadang-kadang aku sendiri, tetapi lebih sering aku mengajak adikku Dewi.
Satu tahun kemudian...
"Tom..Tomy, hushh...!" , temanku Agung berbisik agak keras memanggil-manggil namaku yang masih serius bekerja. Mataku terfokus pada layar komputer, sehingga tidak begitu mendengar waktu si Agung memanggilku dari tadi.
"Ada apa sih ?!..ganggu aja kamu..",
"Itu tuh ada karyawan baru.... cewek..cakep ",
Teman-temanku memang tidak tahu kalau aku sedang menjalani "long distance love". Mungkin inilah kesalahanku, aku tidak memperkenalkan Bunga dengan teman-temanku, tapi itu karena memang belum ada kesempatan aku mengajak Bunga menemui mereka. Apalagi saat itu, bunga sudah mulai memasuki tingkat Tiga dimana dia semakin sibuk dengan tugas-tugas prekteknya. Bahkan aku sendiri pun sudah hampir 1 tahun ini tidak bertemu. Kami hanya masih saling membalas surat.
Di tengah-tengah kuantitas komunikasi yang semakin berkurang dengan Bunga, akhirnya aku ikut-ikutan berkompetisi dengan teman-teman sekantorku untuk memperebutkan perhatian Dewi, nama karyawan baru yang cantik itu. Lengkapnya Dewi Lestari. Kebetulan namanya memang sama dengan nama adikku. Wataknya pun sama kerasnya dengan watak adikku itu. Berbeda dengan Bunga yang selalu lembut dan mau menerima apapun pendapatku. Kalupun ada pendapatku yang salah, Bunga akan mengingatkanku dengan cara yang sangat halus, sehingga kadangkala aku tidak merasa kalau aku sedang diingatkannya, tetapi secara tiba-tiba aku akan menyadarinya bahwa pendapatku itu salah. Bunga memang memiliki karakter yang ideal untuk seorang "Istri". Setidaknya itulah pendapatku pada saat itu.
Lestari atau Dewi teman sekantorku itu memang jinak-jinak merpati. Entah suatu berkah atau justru malapetaka, tetapi ternyata Dewi Lestari lebih suka membagi perhatiannya kepadaku. Akhirnya aku sering jalan berdua, adikku Dewi sudah semakin sering mengingatkanku. Entahlah apakah Bunga nan jauh disana..sudah mengetahuinya atau belum, mungkin hanya Dewi adikku yang tahu.
Yang menjadikan aku sering bertambah penasaran terhadap Dewi Lestari, adalah sikapnya yang kadangkala lebih suka pergi dengan teman-teman sekantorku yang lain, dari pada aku ajak untuk jalan-jalan berdua denganku. Tetapi di saat yang lain dia minta aku mengantarkannya, untuk pergi ke tempat saudaranya atau teman dekatnya.
Begitulah hari-hari terus berlalu, dimana sedikit-demi sedikit bayangan Dewi Lestari mulai menggeser gambar Bunga di langit-langit kamarku. Semakin hari aku semakin didera dilema. Entahlah apakah aku sekarang sedang "Selingkuh" atau aku sedang berada di persimpangan jalan.
"Aku harus memutuskan..!". Aku akhirnya berusaha mengambil cuti dan memutuskan untuk berangkat ke Bandung menemui Bunga untuk berterus terang kepadanya.. ..........(bersambung)
0 comments: