"Ya Allah Ya Rabb ampunilah kami yang telah Engkau beri mata tetapi seringkali buta, yang telah Engkau beri telinga tetapi kadangkala tuli, yang telah Engkau beri akal tetapi enggan befikir dan yang telah Engkau beri hati tetapi kami membuatnya selalu terkunci."
"Ya Allah, jika untuk membuka mata kami Engkau hadirkan bara api dihadapan kami yang cahaya dan panasnya mampu menembus mata kami yang terkatup, maka kuatkanlah kami, gerakkanlah kelopak mata kami sehingga segera terbuka sebelum gejolak apiMu semakin membesar."
"Ya Rabbi, jika untuk membuat telinga kami mendengar Engkau meledakkan gunung-gunung dengan suara bergemuruh, maka janganlah Engkau beri beban kami dengan ujian yang kami tidak bisa menyelesaikannya."
"Ya Allah, jika untuk menghilangkan kemalasan kami untuk berfikir, Engkau uji kami dengan kesulitan hidup, maka bukalah fikiran kami sebelum akhirnya kami berputus asa."
"Ya Rabbi, jika untuk membuka kepekaan hati kami engkau perlihatkan dihadapan kami korban-korban bencana yang bergelimangan penderitaan, maka gerakkanlah hati kami, karena hanya Engkaulah Sang Maha Penggenggam hati."
Siang itu saya sedang membuka-buka email yang masuk dan membacanya satu demi satu dan membalas beberapa email yang sekiranya perlu untuk ditanggapi atau diberi jawaban. Ada sebuah email yang menurut saya cukup menarik, yaitu sebuah laporan dari Departemen Quality mengenai hasil "Vibration Test" sebuah produk LED Television. Pada email itu disertakan sebuah lampiran berupa Foto Pengujian. Terlihat di dalamnya sebuah gambar dimana sebuah LED terikat dengan tali yang disediakan khusus dan berada diatas sebuah alat penguji getaran. Tujuan pengujian ini adalah untuk menguji sejauh mana daya tahan produk terhadap getaran mekanik yang diatur dengan tingkat kekuatan tertentu dan terukur. Pengujian ini sekaligus juga sebagai simulasi pada saat produk berada dalam truk selama pelaksanaan distribusi.
Banyak hasil pekerjaan yang diuji dari metode uji getaran ini, antara lain bagaimana desain pakaging, apakah cukup memadai, atau apakah setiap bagian-bagian komponen sudah dirakit dengan benar, apakah semua bagian yang dirakit sudah berada tepat ditempatnya sesuai fungsinya masing-masing, dan lain-lain. Lalu, tiba-tiba saja muncul pemikiran iseng dalam benak saya, mendengar sedang terjadinya berbagai bencana alam di negara tercinta ini, bagaimana seandainya yang diuji dengan alat vibration test tersebut adalah bumi kita ?
Saya bayangkan bumi sedang berada di atas alat uji tersebut, terguncang-guncang sedemikian rupa . Kadang kala secara tiba-tiba seperti dihempaskan, lalu seperti diguncangkan kekiri dan kekanan. Pertanyaannya adalah, jika seandainya Produsen bumi kita ini kemudian melakukan pengujian terhadap bumi ini, sebenarnya apa yang mau diuji ? Kenapa harus di uji ?
Seperti halnya produk elektronik, salah satu yang akan diuji dengan alat uji getar adalah kekuatan ikatan antar komponen-komponen. Kekuatan ikatan yang menyatukan satu bagian dengan bagian yang lain, yang membentuk satu kesatuan fungsi. Demikian pula manusia sebagai bagian dari sistem kehidupan alam semesta ,saat ini sedang diuji dengan metode "Uji Bencana", sejauh mana masing-masing sebagai jiwa dan pribadi saling terikat satu sama lain, sebesar apa kepekaan masing-masing manusia jika ada sebagian saudaranya yang mendapatkan cobaan apakah mereka saling melindungi, atau justru menjadikannya terpecah belah. Hanya kita masing-masing yang memiliki jawabannya. Carilah jawabannya dalam diri masing-masing , tidak perlu mencari-cari jawaban itu ada pada orang lain. Cari pada kedalaman jiwa kita, tidak perlu melihat apa yang ditampilkan oleh orang lain.
QS 29: 2. " Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? "
Mudah-mudahan kita semua mampu malalui segala ujian-ujian Allah dengan sabar dan tawakal . Sehingga mampu ter-upgrade-kan menjadi pribadi yang semakin lebih baik, pribadi yang sadar akan fungsi dan posisinya untuk senantiasi menghambakan diri kepada Sang Maha Pencipta. Mudah-mudahan seandainyapun masih ada bagian-bagian yang belum terakit dengan kuat, Allah akan memperbaikinya.
QS 21: 35. " Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan. "
Semoga apa apa yang telah terjadi di sekeliling kita, bisa menjadikan renungan dalam mempelajari ayat-ayat Allah...
Wallahu a’lam bish-shawab .......
Seperti dalam banyak hal, segala kejadian minimal memiliki dua dimensi yang saling berhimpitan, yaitu dimensi jasmaniah dan dimensi rohaniah. Ada dimensi fakta dan dimensi hikmah, atau ada yang menyebut hal tersurat dan hal yang tersirat. Kedua dimensi tersebut bersama-sama membentuk karakter dan tingkah laku manusia dalam tugasnya memenuhi hak Allah sebagai Sang Maha Pencipta. Pertanggung jawaban manusia sebagai makhluk Tuhan sesungguhnya tidak saja baru dimulai ketika kita dilahirkan dari Rahim ibu, tetapi jauh sebelum itu, yaitu ketika ruh-ruh manusia (Bani Adam) di baiat oleh Allah untuk dipersaksikan terhadap keberadaan Allah sebagai Sang Kholik. “ Bukankah Aku Tuhan kamu sekalian?” Semua arwah manusia menjawab “yaa…! Kami bersaksi.” (QS. 7:72). Sejak "Janji Tauhid" inilah segala prilaku terhadap naik dan turunnya kadar ketauhidan manusia selalu dimonitoring. Bahkan kemudian Allah menguji kadar ketauhidan tersebut dengan menyatukan ruh-ruh manusia ke dalam sebuah jasad.
Mulai dari masa Pra-Dunia (alam arham), yaitu ketika masa pembentukan jasad manusia di dalam rahim ibu, manusia terus menerus diberi pelajaran oleh Allah lalu di uji. Setiap kali manusia lulus dalam setiap ujian, maka bertambahlah derajat ke tauhidannya satu derajat dan begitulah terus menerus hingga akhirnya manusia mulai masuk ke alam kubur ( alam barzakh ). Saat di alam kubur inilah segala pengujian atas ruh manusia kemudian dihentikan, dan saat-saat sakaratul maut merupakan ujian terakhir yang menentukan manusia apakah meninggal dalam keadaan "Khusnul Khotimah" atau "Su'ul Khotimah". Lalu pada akhirnya manusia di wisuda pada masa Yaumul Hisab dengan menerima ijazah dengan tangan kanan atau tangan kiri.
Ruh dan Jasad manusia memiliki kecenderungan sifat yang saling bertolak belakang. Jasad berasal dari tanah dan cenderung untuk selalu luruh ke bawah berkelompok dengan komunitasnya di bumi, sedangkan ruh manusia akan cenderung naik ke atas menuju ke alam arwah dimana asal kejadiannya ruh diciptakan oleh Allah. Keduanya, ruh dan jasad akan saling berbaur dan berusaha saling mengendalikan satu sama lain. Manusia yang jasadnya lebih berkuasa terhadap ruh akan senantiasa menyukai hal-hal keduniaan, cenderung mengikuti hawa nafsu yang rendah dan berderajat melata, sedangkan ruh manusia cenderung untuk kembali ke fitrahnya yaitu selalu berusaha kontak dengan Sang Maha Pencipta. Karena makanan bagi ruh manusia adalah bukan makanan secara fisik, tetapi makanan bagi ruh manusia adalah cahaya ilahi yang hanya diperoleh jika ruh itu terkoneksi secara langsung ke sumber cahaya.
Maka untuk memperkuat ruh manusia agar mampu mengendalikan rekan kerjanya (jasad) adalah dengan mempekuat ruh. Caranya adalah dengan memperbanyak makanan ruh, yaitu dengan "Sholat", sehingga ruh mempunyai asupan gizi yang lebih banyak dan pada akhirnya memiliki kedudukan yang lebih kuat dan mampu mengendalikan jasadnya, yang berarti pula mampu mengendalikan hawa nafsunya. " Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar" (QS. 29:45)
Alternatif kedua yaitu dengan memperlemah jasad dengan cara berpuasa (Siyam), sehingga tubuh fisik tidak akan pernah mampu mempunyai cukup daya untuk mengendalikan ruh. Atau dengan mengamputasi kepemilikan fisik yaitu dengan berzakat atau berinfaq (melepaskan sebagian kepemilikan) kepada mereka yang lebih membutuhkannya. Bahkan lebih lanjut dengan melakukan ibadah pamungkas yaitu ibadah "Haji". Dengan ibadah ini, upaya memperkuat ruh dan melemahkan jasad dilakukan secara serentak dan simultan. Sehingga jika hakekat ibadah haji benar-benar telah kita gapai, maka tugas ruh kita sebagai "Waliullah" benar-benar bisa terlaksana dengan benar.
Semakin kuat ruh mengendalikan jasad, maka akan semakin terbuka hijab (penghalang) yang menutup penglihatan ruh atas petunjuk-petunjuk Allah dan mengingatkan kembali atas "Janji sebelum segala janji" atau "Janji Tauhid" yang pernah kita ikrarkan pada saat berada di alam arwah. Dengan semakin terbukanya hijab maka manusia bisa kembali ke "track" asalnya dan akan menjadikan kita termasuk ke dalam golongan "orang-orang yang memenuhi janji". Sehingga secara bersama-sama ruh dan jasad selalu berada dalam bimbingan Allah SWT. Dengan tutorial dan bimbingan belajar dari Allah Sang pembuat soal-soal Ujian, maka ujian mana lagi yang tidak akan mampu diselesaikan dengan baik ?
Syahadatain : Ikrar yang selalu mengingatkan ruh akan Janji sebelum segala janji.
Lafadz Syahadatain : "Asshadu ala ilaha illallah wa ashadu anna Muhammadu Rasulullah". Ikrar pertama merupakan pengulangan terhadap ikrar manusia yang paling awal, yaitu "tidak ada Tuhan selain Allah", Tuhan yang Maha Esa, tiada sekutu bagiNya. Sebuah pengakuan sang makhluk terhadap keberadaan sang Kholik-nya ( Sang Maha Pencipta). Sebagai janji zat yang tercipta bahwa dia menerima konsekwensi sebagai makhluk untuk bersedia memenuhi kewajiban-kawajibannya untuk memenuhi keinginan-keinginan Sang Pencipta sesuai tujuan penciptaannya. Seperti halnya sebuah kursi diciptakan untuk diduduki atau berfungsi sebagai tempat duduk maka dia harus bersedia memangku siapapun yang mendudukinya, dia tidak berhak menolak keinginan dari sang penciptanya.
Ikrar kedua adalah sebuah identitas dari sekian banyak ruh yang telah Allah ciptakan, kapan ruh mulai dipersatukan dengan jasad. Termasuk dalam golongan umat siapakah ruh ini nanti pada hari akhir akan dikelompokkan. Karena kita dilahirkan ke dunia pada masa kerasulan Nabi Muhammad, maka kita diwajibkan juga berikrar atau bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul Allah.
Shalat sebagai makanan ruh yang menyehatkan.
Shalat adalah aktifitas jasmani (jasad) yang memfasilitasi ruh agar mendapatkan asupan makanan. Hal ini juga sebagai bukti ketundukan jasad atas keinginan ruh. Sehingga bagi manusia yang jasmaninya masih menguasai ruh, dia akan cenderung mengabaikan shalat, atau kalaupun fisik melakukan shalat, tetapi tubuh melakukannya dengan setengah hati. Hal ini disebabkan karena jasmani merasa bahwa shalat ini bukan kebutuhannya, dia hanya sekedar melaksanakan tugas sebagai rekan kerja saja.
Bahkan kalaupun akhirnya jasad membangkang untuk tidak memfasilitasi ruh untuk melakukan shalat, ruh kita sebenarnya masih tetap bisa melakukan shalat. Misalnya jika kaki kita tidak mampu untuk berdiri, kita bisa shalat sambil duduk. Jika dudukpun tidak bisa, kita masih bisa melakukan shalat dengan cara berbaring. Bahkan jika sebagian besar tubuh tidak bisa digerakkan, kita bisa melakukan shalat dengan isyarat. Jadi apapun keterbatasan fisik memfasilitasi kebutuhan ruh akan asupan gizi, jika ruh manusia bisa berlaku sebagai pemimpin, maka shalat tetap bisa dilaksanakan.
Layaknya sebuah "baterey" jika dayanya sudah mulai melemah, maka ia perlu dikoneksikan ke sumber daya (sumber listrik) agar level dayanya kembali meningkat. Dalam shalat, ruh kita mencoba untuk berkoneksi secara langsung dengan Allah sebagai sumber dari segala sumber kehidupan, sehingga level iman kita tetap bertahan bahkan jika perlu selalu diupayakan agar terus-menerus meningkat.
Sebagai analogi untuk bisa terjadi transfer daya, "baterey" tidak bisa begitu saja dihubungkan dengan jaringan listrik, dia perlu alat yang disebut "adaptor" atau "charger" dimana arus listrik dikonversikan dari arus bolak-balik (AC) bertegangan 220 menjadi arus searah (DC) bertegangan rendah ( 6 volt - 12 volt). Jika tidak ada proses konversi ini maka proses "recharge" tidak akan terjadi.
Demikian pula syarat mutlak agar proses "recharge" ini tidak merusak "baterey" itu sendiri adalah bahwa daya pada "baterey" harus menunjukkan level rendah. Oleh karenanya dalam shalat yang terdiri dari beberapa rukun yang diawali dengan "Takbiratul Ikhram" dan di akhiri dengan "Salam" itu, harus diawali dengan pengosongan diri manusia dari sifat-sifat ke angkuhan, syirik, rasa dengki, amarah dan sebagainya yang akan mengakibatkan indikator daya menunjukkan level yang masih tinggi.
Pada shalat, selain syarat-syarat kesucian yang harus dipersiapkan dengan ber-"wudlu" dengan tujuan agar jasmani berada dalam keadaan suci dan mampu mengantar ruh manusia menghadap Allah, ruh manusia harus dipersiapkan dengan pengakuan bahwa Allah Maha Besar ("Allahu Akbar"), tidak ada satupun selain Allah yang mampu menandingi kebesaranNya. Kemudian dilanjutkan dengan penyerahan secara mutlak manusia sebagai hamba, sebagai makhluk atas segala ketentuan-ketentuanNya " Inni Wajahtu, Wahjiah, lilladzi fatharas samawati wal ardhi.... Inna Shalati, Wanusuki, Wamahyaya, Wamammati, lillahi Rabbil Alamin..". Barulah dilakukan koneksi dengan cara menghaturkan puji-pujian "Bismillahi Rahman nir Rakhim", "Alhamdulilahi Rabbil Alamin", "Ar-Rakhman nir Rakhim", "Maalikiyau middin",... Baru kemudian setelah koneksi terhubung, kita mengajukan permohonan, pertolongan, petunjuk dan sebagainya. "Ihdinassyiratal mustakim" (mohon ditunjukkan jalan yang lurus). Memuji lagi, memohon lagi, dan begitulah terus-menerus hingga akhirnya ditutup dengan "salam".
Dengan makanan "shalat" yang menyehatkan ini, maka ruh kemudian menjadi lebih kuat dan terus semakin kuat, sehingga sanggup menjadi pemimpin yang mampu mengendalikan tubuh untuk melewati ujian-ujian duniawi dengan baik, serta mengumpulkan bekal pada ujian akhir dengan level ketauhidan yang semakin meningkat. Sehingga menjadikan kita termasuk ke dalam "Golongan Kanan".
Menafkahkan Sebagian Harta sebagai Wujud Tunduknya Jasmani kita atas kepemimpinan Rohani.
Fitrah dari jasad sebagai salah satu dari dimensi kemanusiaan kita adalah mencintai segala hal yang berbau keduniaan ( harta, wanita, anak-anak, serta binatang piaraan; QS. 3:14). Bahkan kecintaannya terhadap dunia tersebut seringkali mengalahkan kecintaan manusia sebagai makhluk terhadap Sang Kholik-nya. Sebagaimana shalat, zakat maupun infaq juga merupakan bentuk ketundukkan jasad kita terhadap ruh, karena dengan itu pula jasmani kita dituntut untuk mnengorbankan sebagian yang dicintainya demi memenuhi permintaan ruh atas kecintaannya terhadap Sang Maha Pencipta.
Puasa sebagai upaya meninggikan Ruh dan penundukkan atas jasmani manusia.
Saat dimana kualitas koneksi ruh dalam shalat semakin rendah, atau bahkan kuantitasnya pun semakin berkurang maka kedudukan ruh manusia sebagai pemimpin mulai terancam. Apalagi jika hawa nafsu semakin merajalela dan kebutuhan syahwat selalu dimanjakan, maka posisi jasad akan semakin kuat dan siap mengkudeta kepemimpinan ruh atas tubuh manusia.
Dengan berpuasa semua kesenangan yang dicintai oleh jasad harus dikendalikan. Makanan dan minuman yang sangat diinginkan oleh tubuh dikurangi dan dikendalikan. Nafsu dan semua keinginan semua harus dikendalikan. Dengan berpuasa ruh manusia berusaha menlokalisir aktifitas jasmani dan memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi ruh untuk berkuasa.
Ibadah Haji kombinasi dari upaya menafkahi Ruh dan Tuntutan Pengorbananan Jasadiah.
Dengan berhaji, ruh manusia mendapatkan tempat dimana komunitas ruh bisa terkondisikan selalu terkoneksi dengan Allah. Meskipun untuk mendapatkan kondisi yang kondusif tersebut, manusia harus rela melakukan pengorbanan yang lebih besar. Dengan berhaji di Baitullah, manusia dituntun untuk mengikuti prosedur perjalanan rohani, yang akan selalu mengingatkan ruh manusia kepada sejarah keberadaan ruh-ruh terdahulu dalam usahanya untuk tetap memenuhi janjinya kepada Allah sang Kholik. Pada setiap titik-titik persinggahan dalam perjalanan rohani tersebut, setiap ruh akan berusaha untuk berkomunikasi secara ruhiah dengan ruh-ruh terdahulu dan komunitas-komunitasnya, saling berbagi dan secara berjamaah berusaha terkoneksi dengan Sang Maha Pencipta.
Mudah-mudahan dengan kita lebih memahami hakekat dari keberadaan ruh kita, serta tanggung jawabnya untuk selalu memenuhi "Janji Tauhid", kita dianugrahi gelar sebagai manusia yang "Khusnul Khatimah" dan mampu di wisuda bersama dengan wisudawan-wisudawati " kelompok kanan". Amien...
Wallahu 'alam bi sawab.
Ketika masa yang menjadi bagian dari perjalanan relatifku telah mengantarkan ku pada sebuah wilayah dimana dihadapanku terbentang sebuah danau, "ya menurutku hanya sebuah danau bukan laut", karena aku masih melihat di ujung ufuk pandangan mataku masih terlihat gunung yang menjulang tinggi biru kehitaman. Lalu aku melihat di kiri dan kananku tepian daratan yang memanjang dan semakin menjauh ditelan kaki-kaki keperkasaan sang biru kehitaman. Itu bukan laut, karena jika laut garis horizon tidak sepekat seperti yang kulihat saat ini. Karena jika laut, aku akan melihat hamparannya seakan tidak akan pernah bertepi.
Aku masih berharap bukan laut yang sedang aku jumpai, karena aku masih merasa belum banyak bekal yang sudah aku kumpulkan. Aku berharap ini bukan laut, karena masih banyak debu bercampur keringat yang belum aku bersihkan serta luka-luka menganga sisa perjalananku di masa lalu yang masih juga belum sempat mengering. Tetapi aku hanyalah hamba yang tidak pantas dan mampu untuk berkehendak mutlak. Manalah mungkin aku dapat memastikan apa yang aku lihat bukan sebuah fatamorgana, atau seandainya ternyata danau yang aku lihat hanyalah sebuah teluk tenang yang bertepi ke sebuah samudra yang bergejolak. Tetapi apapun citra yang telah aku tangkap, yang terpenting bagiku adalah mempersiapkan segala sesuatunya.
Selayaknyalah aku bergembira jika masih sempat berjumpa dengan sebuah danau yang tenang, yang airnya terlihat jernih keemasan dikala senja, dan serupa kaca dikala pagi. Bagaimana mungkin aku tidak bersuka, setelah sebelas masa menempuh hutan yang terasa menyiksa. Hutan yang tersa semakin lebat, dimana banyak semak yang menjalar-jalar di hamparan tanah, yang selalu berusaha melilit setiap langkah-langkah kaki, yang membuatku semakin terseok-seok. Belum lagi semak berduri yang selalu menambah luka di sekujur tubuhku, atau semak-semak lembab yang menempelkan lintah-lintah kurus di lengan dan punggungku. Inilah saatnya, dimana aku bisa membersihkan diri, mensucikan tubuh dari keringat dan debu, men-steril-kan luka-luka yang sempat tercipta. Inilah masanya dimana jiwaku yang kehausan bisa merasakan kesegaran yang melepas dahaga.
Sepantasnyalah di awal perjalananku menyebrangi danau, aku sempatkan untuk tunduk bersujud, membenamkan dalam-dalam seluruh keangkuhan di kepalaku kedalam hamparan tanah kelemahan dan ketakberdayaan. Agar aku dapat merasakan ke-Maha-Tinggi-an Sang Penguasa Kehidupan. Agar tubuh lelahku terasa lebih ringan, serta jiwa gersangku dapat berselimutkan embun-embun ketenangan.
Aku meluncur dipermukaan danau dengan kesunyian, berusaha menginggalkan riak-riak air yang tidak terlalu besar. Inilah suatu episode, dimana aku harus selalu bercermin di sepanjang perjalanan, memeriksa diri dari segala kotoran yang masih melekat lalu bersegera untuk dibersihkan. Bukankah aku sedang berada pada limpahan air danau yang mensucikan ? Aku harus benar-benar memanfaatkan penggalan perjalanan ini dan menjadikannya sebuah mozaik cerita yang tidak akan pernah terlupakan. Siapa yang tahu, jika danau ini adalah danau terakhir yang pernah aku jumpai. Bahkan dalam setiap jengkal lintasan yang aku lalui, aku harus benar-benar memanfatkan sebaik-baiknya, karena siapa pula yang mampu memastikan jika aku sanggup sampai ke tepian.
Anggap saja danau ini sebuah cermin besar yang airnya mampu memantulkan setiap detil-detil kehidupan. Yang catatan-cataannya terekam dalam setiap guratan-guratan wajah, yang terlihat semakin merenta. Inilah saatnya dimana aku berkesempatan memandangi wajahku secara lebih seksama, menelusuri setiap lekuk-lekuknya, mencoba memeriksa apakah masih ada noda yang masih tersisa. Sesekali aku mencoba memandang ke belakang menelusuri riak-riak yang telah aku lepaskan, lalu lebih jauh lagi, hingga tepi daratan yang baru saja aku tinggalkan. Tiba-tiba di balik rerimbunan pohon tersembunyi sebuah papan pengumuman dengan tulisan besar yang bertuliskan " Anda telah memasuki danau keberkahan - R.A.M.A.D.H.A.N - "
MARHABAN YA RAMADHAN .........
Inilah bulan yang bergelimang keberkahan, dimana semua catatan perhitungan dilipatgandakan. Inilah bulan tempat jiwa-jiwa orang beriman akan dibersihkan dari sifat angkuh dan ke-aku-an yang berlebihan. Selamat menunaikan Ibadah Puasa.
Namaku SUJIWO, aku adalah seorang pengembara. Telah puluhan tahun aku melakukan sebuah perjalanan panjang yang terkadang terasa melelahkan tetapi terkadang pula terasa sangat menyenangkan. Lembah, bukit, gunung dan ngarai pernah aku lalui demi tercapainya suatu tujuan mulia. Aku mengembara untuk mengumpulkan makanan sebanyak mungkin agar aku bawa pulang sebagai persiapan keluargaku memasuki musim kemarau yang berkepanjangan.
Kini aku mencoba berhenti dibawah sebuah pohon rindang. Sambil beristirahat aku mencoba memandang ke arah dimana aku baru saja datang. Aku melihat deretan bukit dan lembah terlihat mengecil dikejauhan. Pada sebuah bukit dikejauhan terlihat sebuah kilauan cahaya yang memantulkan cahaya surya yang sangat terik pada siang itu. Pantulan cahaya itu bahkan mengakibatkan untuk sesaat mataku tidak mampu untuk melihat. Sekilas aku teringat pada beberapa saat yang lalu ketika aku melewati sebuah lembah, aku merasa telah kehilangan sebuah benda, sebuah cermin yang sangat berharga. Cermin yang mampu menunjukkan seperti apa tampangku saat itu. Cermin yang bisa membuatku tersenyum saat aku mengagumi kelebihanku dan membuatku bersedih ketika melihat jerawat besar yang ada di jidatku.
Mungkinkah kilauan itu adalah cerminku yang telah hilang, ataukah hanya sebuah fatamorgana yang muncul akibat tubuh yang kelelahan. Aku amati sekali lagi hingga pada suatu kesimpulan, kilauan itu memang benar-benar cerminku yang pernah hilang. Tetapi cermin itu sekarang sudah berada di kejauhan, tidaklah mungkin aku akan kembali untuk mengambil cermin itu, karena waktu tidak mungkin akan berpihak kepadaku. Yang terbaik bagiku saat ini adalah segera kembali bangkit melanjutkan perjalanan, membawa makanan yang telah berhasil aku kumpulkan dan terus-menerus mencari perbekalan, sehingga pada saatnya musim kemarau tiba aku sudah berada di rumah dengan membawa sebanyak mungkin makanan sebagai persiapan.
Biarkanlah cermin itu tetap berada di sana sebagai bukti bahwa aku pernah berada disana, di sebuah bukit hijau yang penuh dengan buah-buahan segar dan mempesona. Mungkin dengan hilangnya cermin itu justru akan mampu menghilangkan sifat Narsisku, atau justru mampu menimbulkan kepercayaan diriku yang sempat terpuruk,bahkan mungkin mampu menghilangkan kesedihanku yang terlalu berlebihan karena selalu meratapi jerawat yang tak pernah sembuh.
Bagiku, setiap perjalanan sejarah akan meninggalkan sebuah tulisan yang tidak mungkin untuk dapat dirubah. Kita hanya mampu untuk membacanya kembali sebagai panduan untuk membuat paragraf-paragraf baru yang akan kita tuliskan pada dinding sejarah . Kita hanya mampu mengamatinya untuk kemudian kita kemas menjadi sebuah hikmah.
Pagi ini, kebetulan aku menyasikan acara TV, awalnya ingin mencari tentang perkembangan posisi terakhir hasil pertandngan piala dunia sepak bola di Afrika Selatan. Beberapa saluran telah aku pilih, tetapi yang aku cari tidak juga muncul, justru hampir semua stasiun TV secara kompak memberitakan informasi yang sama dan dengan ilustrasi tayangan yang hampir serupa pula, yaitu tentang seorang publik figur yang terjerat sebuah kasus hukum, dan telah ditetapan sebagai tersangka.
Tulisan ini bukan bermaksud untuk ikut menghukum sang tokoh, tidak juga membenarkan tindakan sang tokoh jika itu memang terbukti, atau membahas bagamana sangat efektifnya media dengan kekebalan kebebasan persnya mampu mengangkat citra seseorang dan sekaligus juga mampu membunuh karakter seseorang dengan sangat keji, maupun mengenai bagaimana kasus ini juga telah meracuni fikiran anak-anak secara lebih luas. Tetapi aku cukup tergelitik dengan pernyataan seorang pimpinan sebuah provider telpon seluler yang mengataan bahwa ada lonjakan yang cukup signifikan terhadap permintaan NSP lagu dari tokoh yang aku bicarakan di atas. Dan ternyata judul yang diminati itu adalah "TAK ADA YANG ABADI"
Timbul pertanyaan dalam benakku kenapa lagu tersebut begitu sangat diminati banyak orang, lalu aku mencoba membuka-buka koleksi lagu-lagu yang telah dinyanyikan oleh sang tokoh dan mencoba menyimak syairnya. Pada intro pembuka terdengar alunan melodi dari sebuah inatrumen musik yang menurut aku sebagai orang awam telah mampu mengkondisikan pendengar memasuki suasana lagu yang ingin diciptakan oleh pencipta lagunya.
"Takkan selamanya tanganku mendekapmu"
"Takkan selamanya raga ini menjagamu"
"Seperti alunan detak jantungku"
"Tak bertahan melawan waktu.."
"Tak ada yang abadi.. 3x"
"Biarkan aku bernafas sejenak sebelum hilang....."
"Jiwa yang lemah segera pergi,"
"Bersiaplah para pengganti.."
"Tak ada yang abadi.. 3x"
Terlepas dari hiruk pikuknya kontroversi yang telah terjadi, kasus ini ternyata sedikit banyak menyisakan nilai-nilai kebaikan berupa hikmah dan telah menginspirasikan sebagian orang untuk sedikit merenung bahwa tidak ada keabadian di dunia ini. Keabadian adalah hak mutlak Allah, karena Dialah akhir dari segala penghentian.
Manusia boleh bangga atas segala apa yang telah ia capai di dunia ini, tetapi semuanya akan menemui ujung perjalanan hidupnya. Yang akan membedakan adalah dimana masing-masing jiwa membuat pilihan, di titik mana dia akan berhenti. Meskipun sebenarnya Allah telah menentukan benang merahnya, tetapi kita masih diwajibkan untuk melakukan ikhtiar untuk menyertai doa kita. Hal ini perlu kita lakukan agar kita selalu ditempatkan pada jalur yang terbaik menurut Allah, bukan hanya sekedar terbaik menurut logika akal kita.
Jika saja suatu saat, kita diberi kesempatan untuk dapat merenungkan perjalanan hidup kita dan apa yang terjadi di sekeliling kita, maka sebenarnya seperti sebuah pemancar, Allah senantiasa memancarkan nikmat-nikmat terbaikNya ke segala arah, dengan seluruh panjang gelombang dan tingkat frekwensi yang ada, dengan daya pancarNya yang tak terhingga, bahkan tanpa memperdulikan siapa yang akan menerima seluruh limpahan kebaikan tersebut, apakah dia orang jahat atau orang baik.
seperti halnya kita memiliki TV kabel atau TV berlangganan lainnya, yang mampu menerima sinyal-sinyal siaran adalah mereka yang berlangganan dan memiliki decoder yang sesuai yang dikeluarkan oleh masing-masing perusahaan layanan TV berlangganan tersebut. Hati kita adalah sebuah dekoder yang mampu menerima seluruh nilai-nilai yang terpancar di segala ruang jagad raya. Hanya sebagian dari sinyal-sinyal itu yang mampu ditangkap oleh akal kita, yaitu sinyal yang frekwensinya sesuai dengan setting yang telah dilakukan terhadap diri kita. Begitu pula dengan pancaran gelombang kebaikan yang Allah pancarkan di sekeliling kita, hanya orang-orang tertentulah yang mampu merasakannya. Sebagian tidak mampu menerima dan merasakan kebaikan itu karena hijab (penghalang), barier yang menghalangi pandangan mata batin kita. Kita cukup berlangganan atau meminta kepada Allah, dan InsyaAllah akan dilepas segala hijab dari batin kita. Jika kita sudah berlangganan maka kita akan dimasukkan oleh Allah ke dalam golongan orang-orang yang bersyukur.
Sebagai pelanggan Allah, kita telah diberikan instrumen berupa hati. Agar hati sebagai pesawat dekoder kita bisa berfungsi, maka perlu dilakukan setting. Tujuannya agar frekwensi referensi hati kita selalu sesuai dengan frekewensi kebaikan yang Allah pancarkan. Dan atas "Rahman" dan "Rakhim" -Nya lah, sebagai kemudahan dan fasilitas, Allah telah menerbitkan sebuah buku manual/petunjuk berupa KITAB-KITAB SUCI dan seorang TEKNISI terpilih yaitu para nabi dan rosul serta para ENGINEER yang selalu mendampingi yaitu para malaikat. Semua itu sebenarnya merupakan suatu fakta yang jelas jika kita mau memahaminya.
Wallahu 'alam bi sawab...